Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso pernah menyatakan akan melakukan pemberantasan narkotika dengan cara yang keras[1]. Cara yang keras disini dimaksudkan dengan kebijakan yang represif dan mengutamakan pendekatan hukum pidana. Namun, sayangnya kebijakan Indonesia mengkriminalisasi penggunaan narkotika telah menimbulkan berbagai dampak buruk, khususnya kepada para pengguna narkotika.

Menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), upaya kriminalisasi terhadap pengguna narkotika menambah deretan eksploitasi penyalahguna, menjadi objek pemerasan. Hal ini juga ditekankan di tingkat Internasional melalui Global Commission on Drugs Policy yang menyatakan bahwa perang terhadap narkotika dinyatakan gagal, karena lebih banyak memberikan dampak negatif.

Lembaga pemasyarakatan atau pembinaan juga ternyata menuai dampak langsung dari pengutamaan proses kriminalisasi dalam mengatasi permasalahan narkotika. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, pada Maret 2016 tahanan kasus narkotika mengisi 52% dari kapasitas tahanan yang tersedia, sehingga secara keseluruhan terjadi overkapasitas mencapai 154 % dan untuk beberapa kota besar overkapasitas mencapai diatas 250%.

Overkapasitas di Rutan dan Lapas tidak hanya berdampak pada menurunya kualitas layanan warga binaan dan tujuan sistem pemasyarakatan, namun juga memicu permasalahan lainya seperti keamanan, konflik sesama warga binaan, peredaran gelap narkotika, kerusuhan, korupsi dan lain-lain. Kriminalisasi kepada pengguna narkotika membawa dampak sosial dan ekonomi yang lebih berat dibandingkan dengan pelaku kriminal lainya, seperti tekanan psikologis, stigma, diskriminatif, kehancuran rumah tangga, kehilangan pekerjaan, sakit karena putus zat, putus sekolah dan meningkatkan pengetahuaan terkait pola perdagangan gelap narkotika atau kejahatan lainnya.

Pendekatan kriminalisasi terhadap pengguna narkotika juga mengakibatkan terabaikannya hak atas rehabilitasi. Berdasarkan data penelitian putusan pengadilan negeri se-Jakarta (2015), MaPPI-FHUI menemukan tidak satupun JPU tidak dalam satu kasuspun menuntut terdakwa menjalani rehabilitasi. Pengabaian hak atas rehabilitasi ini ternyata banyak melanggar hak asasi manusia pengguna narkotika.

Hal ini ditunjukkan oleh hasil kajian yang dilakukan oleh PKNI di 5 kota (Medan, Bandung, Jakarta, Makasar dan Mataram) yang menemukan dampak buruk kriminalisasi bagi para pengguna narkotika. Kekerasan dan penyiksaan, manipulasi perkara, serta dampak psikologis, sosial, ekonomi, serta kesehatan menunjukkan bahwa penjara bukanlah solusi bagi pengguna narkotika. Dampak kesehatan inilah yang dapat menimbulkan efek domino bagi pengguna narkotika.

Ketiadaan akses kesehatan bagi pengguna narkotika dalam proses pidana mengakibatkan gejala putus zat (sakaw), penyakit menular (HIV-AIDS, Hepatitis, TBC). Dalam hal ini responden juga mengungkapkan bahwa ada kebutuhan rehabilitasi yang harus dipenuhi, di mana hal tersebut tidak mereka dapatkan selama menjalani masa hukuman.

Dalam posisi ini kami melihat penyalahguna sejatinya adalah korban dari perdagangan gelap narkotika. Seharusnya pemerintah tidak melihat posisi pengguna dari aspek pemidanaan, melainkan dari aspek kesehatan. Dengan ditempatkannya pengguna narkotika di dalam pengaturan pemidanaan, akan menjauhkan pengguna narkotika terhadap akses layanan kesehatan.

Untuk itu koalisi masyarakat sipil serta akademisi menawarkan dekriminalisasi sebagai alternatif solusi. Diiringi dengan pelayanan kesehatan yang baik, langkah ini dinilai mampu mengatasi stigma dan marjinalisasi pengguna narkotika dan terbukti menurunkan angka penggunaan narkotika.

[1] https://www.vice.com/id_id/article/ypv7ym/ambisi-budi-waseso-mengimpor-perang-narkoba-brutal-ala-duterte diakses pada tanggal 17 Juli 2017