Kepala Divisi Pemantauan Peradilan MaPPI FHUI, Muhammad Rizaldi dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Kasus korupsi yang melibatkan oknum-oknum penegak hukum masih menjadi sorotan pada tahun 2016. Tahun lalu, hakim hingga panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan divonis menerima suap dari pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis. Pengembangan kasus ini bahkan menyeret Rio Capella, yang saat itu merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem.

Pada Februari 2016, Mahkamah Agung menjadi sorotan karena kasus yang menjerat Andri Tristianto Sutrisna yang saat ini menjabat sebagai Kasubdit Perdata Mahkamah Agung (MA).

Ia divonis menerima suap untuk menunda pengiriman salinan putusan kasasi suatu kasus korupsi. Selain Andri, setidaknya ada 12 hakim dan pejabat pengadilan yang terlibat dalam kasus korupsi di tahun 2016.

“Beberapa kasus penangkapan pegawai pengadilan jadi pertanda bahwa mafia peradilan masih jadi polemik dalam proses peradilan kita,” ujar Kepala Divisi Pemantauan Peradilan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Unibersitas Indonesia, Muhammad Rizaldi, dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Kasus Andri juga menyeret pegawai Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung, Kosidah, yang dipecat karena dianggap terlibat dalam perkara suap itu. Selang dua bulan kemudian, Sekretaris MA Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat korupsi dalam sejumlah penanganan perkara di MA.

Penetapan tersangka Nurhadi merupakan pengembangan dari kasus suap kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Belakangan,nama dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Casmaya dan Partahi Tulus Hutapea disebut-sebut menerima suap untuk memenangkan pihak tergugat dalam perkara gugatan perdata.

Rizaldi beranggapan, banyaknya oknum peradilan yang tersangkut kasus korupsi karena lemahnya pengawasan internal. “Seakan menjadi polemik tersendiri kedua elemen bekerja tidak sinkron. Bagajmana badan pengawas MA dan KY tidak maksimal,” kata Rizaldi.

Rizaldi mengatakan, buruknya sistem perekrutan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab maraknya mafia peradilan. Pada seleksi hakim ad hoc tahun ini saja, sebagian pesertanya memiliki catatan hitam.

Bahkan, 75 persen dari mereka tidak memiliki pengetahuan hukum dasar dan tindak pidana korupsi yang mumpuni. “Masalah ini muncul karena MA belum menetapkan standar kebutuhan dan kriteria hakim tipikor yang ideal sehingga orang tak berkualitas bisa lolos seleksi,” kata Rizaldi. Seharusnya, penindakan terhadap hakim yang diancam dengan sanksi berat dilalukan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Namun, hasil keputusan MKH tak serta merta diikuti dengan langkah penegakan hukum. Padahal, setengah dari kasus yang ditangani MKH adalah kasus penyuapan dan permainan perkara. “Persoalan ini tidak hanya masalah etik dan disiplin, tapi masalah hukum,” kata Rizaldi.

Sumber: kompas.com.