lt55ec35724c784

Salah satu perannya adalah ikut andil dalam pembentukan awal KPK hingga proses seleksi pimpinan KPK serta seleksi penyidik dan penuntut umum untuk KPK.

Seorang sarjana hukum tidak harus selalu menjadi pengacara, hakim atau jaksa jika ingin membangun hukum di Indonesia. Anggota Tim Pembaharuan Kejaksaan RI, Sukma Violetta mengatakan, ada profesi lain bagi sarjana hukum dalam mendukung pembangunan hukum di Indonesia. Profesi itu adalah pembaharu hukum atau legal reformer.

Meski belum banyak dilirik para sarjana hukum, lanjut Sukma, profesi ini sudah lama ada dan berkiprah dalam proses pembangunan hukum di Indonesia. “Yang ingin saya sampaikan bahwa ada profesi lain juga yang mungkin baru bagi teman-teman, yaitu legal reformer itu adalah pembaharu hukum,” ujarnya saat menjadi pembicara di acara “Halal Bil Halal dan Silaturahmi Akbar Keluarga Besar Muslim FH UI” di Depok, Minggu (6/9).

Misalnya saja, lanjut Sukma dalam bidang pemberantasan korupsi. Menurutnya, legal reformer menjadi salah satu kelompok profesi yang menekan atau memprakarsai pembentukan lembaga antirasuah di Indonesia, yakni KPK tahun 2003 silam. Saat KPK sudah berdiri dan terbentuk sekalipun, profesi ini juga masih terus mengawal dan memberikan sejumlah kontribusi kepada lembaga tersebut.

“Antikorupsi secara langsung, pembentukan KPK tahun 2003 itu tidak lepas dari tekanan teman-teman legal reformer,” katanya.

Ia menuturkan, legal reformer memiliki peran pada tiga hal utama. Yakni, ikut melaksanakan dan melakukan pembangunan hukum nasional, ikut andil dalam proses reformasi hukum. Bahkan sampai pada tahap yang paling spesifik, yakni menjadi bidang pencegahan dari luar institusi negara, khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sukma mengatakan, sebagai Tim Pembaharuan Kejaksaan RI, dirinya banyak dibantu oleh legal reformer. Salah satunya oleh Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI). Hal serupa juga terjadi pada pembaruan di Mahkamah Agung (MA) misalnya, juga dibantu oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP).

Jika berkaitan dengan isu lingkungan, tidak jarang misalnya kementerian terkait juga mengundang Indonesia Centre of Environmental Law (ICEL). Contoh lain, disebutkan Sukma, ada peran dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta masih ada sejumlah kelompok pembaharu hukum lainnya di Indonesia. ”Ini adalah satu profesi baru,” sebutnya.

Sukma mengatakan, legal reformer sendiri menjadi salah satu kelompok profesi yang merancang metode yang dilakukan oleh panitia seleksi capim KPK (Pansel KPK) di awal KPK berdiri. Dulu, pansel KPK sempat mengalami kebingungan saat akan melakukan seleksi kepada para capim KPK.

Pansel KPK kala itu, kata Sukma, hanya berdasar pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam mencari metode seleksi bagi capim KPK. Saat itu pansel tidak tahu harus melakukan apa agar muncul lima nama yang layak mengisi posisi komisioner KPK. Namun akhirnya muncul ide sepanjang proses seleksi berlangsung mulai dari tahap administrasi dan seleksi wawancara melibatkan masyarakat.

Hingga saat itu muncul ide soal penelusuran rekam jejak (track record) yang selama ini selalu digunakan. Keempat ide itu, diklaim Sukma berasal dari sumbangan ide serta gagasan dari kelompok profesi legal reformer. “Akhirnya legal reformer ini berdiskusi dan membuat akhirnya apa yang seharusnya dilakukan oleh pansel KPK,” ujarnya.

Tak sampai di situ, legal reform juga masih berperan saat KPK melakukan rekrutmen untuk penyidik dan penuntut umum di awal eksistensi KPK saat itu. Penyidik dan penuntut KPK saat itu adalah tenaga yang diperbantukan dari Kepolisian dan Kejaksaan. KPK sebagai lembaga baru yang fokus pada pemberantasan korupsi tentu membutuhkan tenaga penyidik dan penuntut umum yang memilki kemampuan tinggi serta memiliki intergritas.

Sehingga, legal reformer saat itu mencari format apa yang sesuai untuk proses seleksi di KPK untuk penyidik dan penuntut umum. Akhirnya ditemukan format yang dinilai tepat dan legal reformer yang memberi ide serta gagasan untuk proses seleksi itu. Selain berkiprah di awal pembentukan KPK, ada sejumlah peran lain yang dilakukan legal reformer yang masih berkaitan dengan seleksi. Misalnya seleksi hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Bukan hanya itu, legal reformer juga kerap membantu institusi penegak hukum lainnya seperti, Kejaksaan dan MA.

”Legal reformer melakukan upaya-upaya dimana dibuat proses seleksi yang transparan, akuntabel melalui proses yang sama. Lalu ada training, dia siap menangani perkara besar. Termasuk juga training ESQ itu untuk menciptakan kesadaran sendiri kita mau berperan seperti apa,” tutupnya.

Sumber: Hukum Online.