Penyelesaian dengan pendekatan restorative justice harus dengan memperhatikan kepentingan korban, bahwa prosesnya harus berbasis kepentingan pemulihan bagi korban. Karena itu, ICJR dan MAPPI FH UI memandang bahwa pernikahan anak korban dengan pelaku tidak akan memberikan penyelesaian bagi pemulihan korban

 Berdasarkan pemberitaan di beberapa media, diketahui bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak santriwati usia 16 tahun di salah satu pesantren di Kubu Raya, Kalimantan Barat pada akhir Juni 2019. Perbuatan tersebut diketahui dilakukan oleh salah seorang pengurus pesantren berinisial NR.

 Perkembangan per 1 Juli 2019, diketahui bahwa Kasat Reskrim Polresta Pontianak menyatakan bahwa penyelesaian kasus tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice, pihak Reskrim Polresta Pontianak menjelaskan salah satu bentuk penyelesaian dengan pendekatan restorative justice dengan menikahkan pelaku dan korban.

 ICJR dan MaPPI FHUI perlu meluruskan bahwa penyelesaian perkara dengan pendekatan  restorative justice adalah penyelesaian yang berbasis pemulihan bagi korban, pelaku dan masyarakat. Dalam konteks lahirnya pendekatan ini, fokus utama yang paling penting yang harus diperhatikan adalah pemulihan dan kepentingan terbaik untuk korban dan pelaku menyadari kesalahannya dan juga mendukung pemulihan korban.

 Penyelesaian dengan pendekatan restorative justice harus dengan memperhatikan kepentingan korban, bahwa prosesnya harus berbasis kepentingan pemulihan bagi korban. Karena itu, ICJR dan MAPPI FH UI memandang bahwa pernikahan anak korban dengan pelaku tidak akan memberikan penyelesaian bagi pemulihan korban. Dalam hal ini korban merupakan usia anak, mengalami kekerasan berulang, padanya ada kondisi traumatis yang seharusnya dipulihkan yang menjadi fokus utama penyelesaian perkara. Yang harus diperhatikan bahwa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak (di bawah 18 tahun) tidak pernah ada persetujuan di dalamnya, anak bagaimana pun juga tidak menjadi subjek yang dapat memberikan persetujuan dalam hubungan seksual, maka pencabulan jelas terjadi dalam keadaan anak terancam yang mengakibatkan trauma. Menikahkan pelaku dengan korban jelas bukan bentuk pemulihan yang sejalan dengan pendekatan restorative justice, karena lewat perkawinan, terlebih lagi korban masih anak, pemulihan tidak akan tercapai.

 

Penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice bukan berarti menghilangkan  pertanggungjawaban pidana dan memaksakan korban untuk berdamai ataupun pemaksaan perdamaian antara pelaku dan korban. Pendekatan ini bertujuan untuk membuat korban menjadi berdaya, bagaimana pun harus diupayakan korban memiliki dan diberikan akses terhadap keadilan sehingga mampu menyuarakan kerugiannya, yang kemudian dapat dipertimbangkan dalam penghukuman untuk pelaku. Hak ini dapat terpenuhi dengan tersedianya hak-hak bagi korban yang mempuni, seperti hak pendampingan baik pendampingan hukum maupun pendampingan psikologis, hak atas perlindungan termasuk akses terhadap rumah aman.

 Dalam hal ini korban adalah anak, perkawinan anak jelas bukan merupakan jalan untuk mengupayakan pemulihan bagi korban anak. Kepentingan pemulihan tidak akan tercapai dengan perkawinan.

Dalam hal ini ICJR, MaPPI FHUI merekomendasikan yang seharusnya diupayakan oleh pihak Polres Pontianak untuk memaksimalkan diimplementasinya pendekatan restorative justice adalah dengan membuat korban berdaya dengan pertama-tama memenuhi hak-hak korban terlebih dahulu untuk memastikan korban memiliki peran dalam penyelesaian perkara, korban dapat menyuarakan kerugiannya, penghukuman bagi pelaku harus dengan mempertimbangkan kondisi korban tersebut.

Jakarta 2 Juli 2019

Hormat kami,

ICJR dan Mappi FHUI

Narahubung:

– Erasmus Napitupulu, Direktur Program ICJR: 08111441800

– Dio Ashar Wicaksana, Direktur Eksekutif MaPPI FHUI: 087786130347