Korupsi dan Pengadilan adalah dua hal yang hingga saat ini masih menjadi permasalahan di Indonesia. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan World Bank (1999) dan penelitian Prof. Mardjono Reksodiputro tentang “praktik judicial corruption” seolah mengkonfirmasi bahwa Pengadilan masih menjadi salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

Pada Rabu (28/11/2018), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menyasar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenaan penanganan sebuah kasus. KPK melakukan penangkapan terhadap enam orang staf pengadilan negeri Jakarta selatan yang terdiri dari hakim, panitera, dan juga pengacara. Selain mengamankan para pihak, KPK juga menyita uang senilai 45 ribu SGD yang diduga berkaitan dengan salah satu kasus yang sedang disidangkan oleh pengadilan negeri Jakarta selatan.

OTT ini bukanlah hal yang baru bagi apparat penegak hukum Indonesia. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI dari tahun 2016-2018 terdapat 17 orang aparatur pengadilan yang terjerat kasus korupsi. Tidak hanya panitera dan hakim. Profesi Advokatpun termasuk actor yang sering terjaring kasus korupsi. Hal tersebut dibenarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dimana hingga tahun 2018 terdapat 16 orang pengacara yang terlibat kasus korupsi.

Hal diatas sungguh ironi, karena pengadilan sebagai lembaga yang seharusnya menyuguhkan keadilan bagi masyarakat malah menjadi “pasar gelap” dimana praktik kumuh korupsi merajalela. Hal tersebut bukan hanya didukung oleh kesempatan dan keadaan di lembaga peradilan, melainkan sudah menjadi kultur atau budaya yang bersifat sistemik dari aparaturnya.

Berdasarkan riset (MaPPI) pada tahun 2017 tentang pola dan prevalensi korupsi di pengadilan di DKI Jakarta ditemukan fakta bahwa : sebanyak 73% responden yang mayoritas adalah advokat mengaku pernah melakukan praktik korupsi (membayar pungutan liar) saat berhubungan dengan pengadilan. Adapun alasan mereka melakukan hal tersebut adalah agar lebih dimudahkan dalam mengakses layanan di pengadilan seperti mendaftarkan perkara dan mendapatkan salinan putusan.

Jika ditelaah lebih dalam jelas bahwa terdapat korelasi “positif” antara korupsi dan akses terhadap layanan dipengadilan. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan budaya koruptif sudah menjadi hal yang dimaklumi dalam sistem peradilan kita, baik oleh aparatur pengadilan itu sendiri maupun oleh pihak berperkara seperti advokat.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, MaPPI FHUI menegaskan beberapa hal sebagai berikut:

  • Mahkamah Agung harus melakukan pembenahan manajemen perkara, terutama di tingkat Pengadilan Negeri agar menutup celah praktik korupsi di pengadilan.
  • Mahkamah Agung harus meningkatkan pengawasan secara menyeluruh terhadap setiap aspek struktural di lembaga peradilan terutama Hakim dan pemegang jabatan administrative di pengadilan;
  • Mahkamah Agung harus menindak tegas dan menonaktifkan hakim dan pegawai pengadilan lainnya yang terlibat praktik korupsi sesuai dengan peraturan yang berlaku;
  • Mahkamah Agung harus Mengakkan prosedur pengawasan dan pembinaan secara tegas terhadap aparatur pengadilan baik hakim maupun non-hakim sebagaimana yang diatur dalam PERMA No. 8 Tahun 2016, melalui penegakan kode etik yang diikuti dengan langkah penegakan hukum serta monitoring terhadap implementasi peraturan ini;
  • Organisasi advokat senantiasa menanamkan budaya anti korupsi bagi anggotanya bukan sebaliknya;
  • Organisasi advokat harus berkomitmen untuk menegakkan etika profesi dan menindak tegas para anggota yang melakukan pelanggaran;
  • Perlu dijalinnya kerjasama antar Mahkamah Agung dan lembaga/organisasi terkait seperti Komisi Yudisial dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk mengawasi aparatur pengadilan baik ditingkat pusat maupun daerah.

Jakarta, 29 November 2018
Narahubung : Siska Trisia (085263496439)