“Peran Penuntut Umum Sebagai Pengendali Perkara Mendesak Untuk Disempurnakan”

Saat ini beberapa pemohon (Choky Ramadhan, Usman Hamid, Carolus Tuah, dan Andro Supriyanto) sedang mengajukan permohonan uji materi kepada MK terkait beberapa norma dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Materi yang diuji bertitik tekan pada pola koordinasi penyidik dengan penuntut umum dalam proses peradilan pidana yang dikenal dengan Prapenuntutan.

Adapun pasal-pasal terkait Prapenuntutan yang diuji adalah Pasal 109 ayat (1), Pasal 14 huruf b, Pasal 138 ayat (2), Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i KUHAP. Beberapa pasal tersebut telah menjadi salah satu sumber permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu terbukanya ruang kesewenang-wenangan penyidik dalam tahap penyidikan, kriminalisasi, hingga korupsi di kalangan aparat penegak hukum.

“Urgensi dari pengujian ini adalah untuk memotong fenomena bolak-balik berkas perkara yang kerap terjadi antara penyidik dengan penuntut umum. Bolak-balik berkas perkara tidak jelas dapat dilakukan sampai berapa kali. Bahkan norma Prapenuntutan yang dimulai dari penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam KUHAP bersifat fakultatif (tidak wajib)”.

“Belum lagi ketika berkas perkara sudah diserahkan kepada penuntut umum, kata “segera” untuk dilimpahkan ke pengadilan dalam KUHAP tidak jelas pemaknaannya. Kesemua hal ini berpotensi melanggar hak tersangka sekaligus membuka ruang praktik penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur penegak hukum. Salah satu jalan pembenahannya adalah melalui penguatan peran penuntut umum sebagai pengendali perkara. Pemerintah sendiri sudah melihat permasalahan ini melalui RUU KUHAP”. (Choky Ramadhan/pemohon sekaligus Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Pidana/0818 0822 7963).

“Salah satu akar masalahnya adalah prinsip pengkotak-kotakan fungsi terutama penyidik dan penuntut umum dalam KUHAP. Fungsi tersebut tidak terintegrasi antar satu fungsi dengan fungsi yang lain. Padahal apabila mengacu pada prinsip sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dan praktik internasional, fungsi tersebut seharusnya terintegrasi. Sistem peradilan pidana Indonesia hanya terpadu dalam konteks berkas perkara saja”.

“Penuntut umum tidak mengetahui kapan dan bagaimana cara penyidik melakukan penyidikan. Penuntut umum hanya mengetahui proses penyidikan di ujung saja yaitu ketika berkas sudah diserahkan oleh penyidik. Hal ini mengakibatkan bolak-balik berkas dan perkara yang menggantung tanpa batas waktu. Maka muncul ketidakpastian hukum sekaligus pelanggaran terhadap prinsip due process of law dalam suatu proses peradilan pidana. Padahal seharusnya pembatasan terhadap suatu hak asasi manusia harus dinyatakan secara rinci dalam undang-undang”. (Reda Mantovani/praktisi hukum dan akademisi Univ. Pancasila/0812 9279 184).

“Perkara yang bolak-balik dan menggantung harus diakui ada dan terjadi. Begitu dengan adanya perkara yang berlarut-larut. Hal ini memang sedang diperiksa oleh Komisi Kejaksaan dengan Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung. Pentingnya peran penuntut umum sejak awal proses penyidikan adalah untuk mengetahui perkara yang sebenarnya tidak hanya dari berkas perkara. Pada akhirnya berkas perkara seakan-akan menjadi alat bukti padahal tidak demikian. Peran penuntut umum sebagai pengontrol perkara adalah bentuk penyeimbang dari kewenangan penyidik”. (Ferdinand Andi Lolo/Komisioner Komisi Kejaksaan dan akademis Univ. Indonesia/0816 195 4669).

Perkara dengan nomor register perkara 130/PUU-XIII/2015 akan diselenggarakan lagi pada Selasa, 29 Maret 2016 pukul 11.00 WIB di Mahkamah Konstitusi. Agenda sudah memasuki pemeriksaan ahli dimana pihak pemohon menghadirkan Luhut M.P Pangaribuan, Prof. Andi hamzah, dan Prof. Stephen C. Thaman sebagai ahli.