Kepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengkritisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang dikebut sepanjang 2016.

Undang-undang itu mengatur soal pemberatan hukuman yakni ancaman hukuman minimal 10 tahun penjara dan kebiri secara kimia. Menurut Kepala Divisi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI FHUI, Anugerah Rizki Akbari, pemerintah keliru dengan menganggap masalah pelecehan seksual terhadap anak bisa ditelan dengan ancaman hukuman berat.

“Pemerintah melupakan satu porsi yang penting, mestinya yang perlu diperhatikan perlindungan korban, rehabilitasi,” ujar Rizki dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

“Tapi terlalu menggebu-gebu hukum pelaku,” lanjut dia. Menurut Rizki, korban cenderung takut untuk melaporkan tindak kejahatan yang menimpa.

Pertama, karena takut atas ancaman pelaku. Kemudian, korban pun khawatir dengan pertanyaan intimidatif yang kerap dilontarkan kepolisian saat melaporkan apa yang dialaminya.

“Pertanyaan itu menyudutkan korban. Pemerintah malah fokus ke pelaku,” kata Rizki. Perempuan juga kerap disalahkan atas terjadinya pelecehan seksual karena dianggap sebagai pemicu. Hukuman seberat apapun, kata Rizki, akan percuma jika korban merasa haknya terbaikan.

“Korban tidak akan terpuaskan ketika pelaku dihukum berat dan sistem peradilan tidak mendukung dia sebagai korban,” kata Rizki.

Sumber: kompas.com.