Minggu, 7 Januari 2018 tepat sepekan sudah tahun 2017 berakhir. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI sepanjang tahun 2017, terdapat beberapa isu peradilan yang patut mendapatkan perhatian serius dan menjadi pekerjaan rumah dalam rangka reformasi peradilan di tahun 2018.

1. Korupsi Pengadilan

Nampaknya di tahun 2017, Mahkamah Agung masih perlu bekerja keras dalam upaya pengentasan korupsi di lembaganya. Meski sudah mengeluarkan beberapa paket peraturan pengawasan pada tahun 2016 serta penindakan terhadap oknum-oknum pengadilan yang terlibat praktik korupsi, nyatanya angka pelanggaran yang dilakukan oleh para pegawai, pejabat, dan hakim di lingkungan peradilan masih cukup tinggi. Beberapa diantaranya mereka yang tertangkap tangan oleh KPK terkait suap adalah panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tarmizi, panitera pengganti Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan, hakim Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Dewi Suryana dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono pada tahun 2017 lalu.

Selain korupsi dalam ruang lingkup penanganan perkara, MaPPI FHUI juga memetakan praktik pungutan liar (pungli) terkait layanan publik di beberapa wilayah pengadilan negeri seperti Jakarta, Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta, Malang.

MaPPI FHUI menemukan salah satu praktik yang paling sering dilakukan adalah mengenakan biaya tambahan dalam layanan pendaftaran surat kuasa. Oknum pengadilan masih meminta sejumlah “biaya administrasi” tambahan diluar dari ketentuan yang diatur bagi para pihak yang akan mendaftarkan surat kuasa di pengadilan. Hasil temuan ini menunjukkan kualitas layanan publik di pengadilan yang masih buruk. 

Selain itu MaPPI FH UI menemukan modus-modus yang lazim digunakan oleh oknum pengadilan  dalam melancarkan aksinya, diantaranya:

  • mengutip biaya diluar ketentuan tanpa tanda bukti bayar;
  • tidak menyediakan uang kembalian;
  • meminta imbalan atau uang lelah atas layanan yang diberikan;
  • memperpanjang jangka waktu pemberian layanan jika tidak diberikan “uang pelicin”.

Pola tindakan koruptif (berupa pungli) di pengadilan tersebut memiliki ciri khas tersembunyi diantara prestasi-prestasi dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan. Di satu sisi, pengadilan telah memiliki perangkat peraturan dan kebijakan yang menunjang pelaksanaan pelayanan publik dan pelayanan informasi. Namun di sisi lain, lemahnya sistem pengawasan (pencegahan dan penindakan) menyebabkan oknum oknum pengadilan tersebut tetap melanggengkan praktek pungli dalam memberikan layanan kepada masyarakat.

2. Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi

Wacana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) POLRI diajukan oleh Kapolri Jendral Tito Karnavian pada hari Rabu, tanggal 12 Oktober 2017 dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR di Komples Parlemen, Senayan, Jakarta. Wacana ini dimunculkan mengingat kinerja Direktorat Tindak Pidana Korupsi dianggap masih belum memuaskan.

Usulan pembentukan Densus Tipikor tentu bukan jaminan akan keberhasilan kerja kepolisian dalam melakukan pemberantasan korupsi. Justru berpotensi melahrikan persoalan-persoalan baru yang kontra produktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Salah satu diantaranya adalah terkait kedudukan Densus Tipikor yang menggabungkan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam satu atap. Hal ini merupakan bentuk duplikasi dari kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menggabungkan fungsi penyidikan dan penuntutan dalam atap organisasi kepolisian tentu melanggar prinsip Dominus Litis, dimana Kejaksaan merupakan pengendali proses sebuah perkara. Secara sederhana hal ini menempatkan Kejaksaan dibawah kordinasi Kepolisian secara hirarkis. Hal demikian berpotensi mengganggu dan mengancam independensi Jaksa dalam melakukan tugas penuntutan.

3. Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar

Dipenghujung tahun 2016, Presiden membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang diamanatkan untuk memberantas praktik pungutan liar yang selama ini marak terjadi di lingkup pemerintahan. Setidaknya ada 3 poin catatan kinerja satgas saber pungli selama setahun lebih bekerja.

Pertama, dari segi kuantitas, kinerja satgas tidak dapat dikatakan menggembirakan. Tercatat hingga bulan November 2017 sudah ada total 32.864 ribu laporan pengaduan masyarakat tentang praktik pungli. Namun hingga kini baru ada 1.340 Operasi Tangkap Tangan yang melibatkan 2.719 tersangka. Angka ini menunjukkan belum sebandingnya antara tindak lanjut satgas terhadap laporan dengan jumlah laporan yang masuk, sehinga menimbulkan pertanyaan akan efektifitas satgas dalam bekerja memberantas pungli.

Kedua, adanya dualisme perlakuan dimana pelaku yang tertangkap pungli dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif. Selama satgas bekerja setidaknya ada 484 orang yang tertangkap melakukan pungli dan hanya dikembalikan ke institusi terkait, bukan diproses melalui jalur pidana. Perbedaan perlakuan ini semakin mengaburkan bentuk pungli, apakah pungli merupakan bentuk kejahatan yang yang dapat dipidana atau hanya merupakan pelanggaran administratif. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Tipikor, maka pungutan liar dapat dimasukkan kedalam klasifikasi Pasal 12 huruf e tentang pemerasan dalam jabatan. Sayangnya, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 juga tidak memberikan rujukan dan batasan apa sebuah perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai pungli.

Ketiga, legalitas Operasi Tangkap Tangan (OTT). Hal ini memiliki implikasi serius terhadap proses penanganan perkara pungli, apakah pungli ditempatkan sebagai tindak pidana atau sebagai pelanggaran administratif. Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2016 tidak mendefinisikan makna dari OTT, sehingga sulit untuk menilai dan menentukan batas tindakan yang dapat dilakukan oleh satgas saber pungli. Jika OTT dikaitkan dengan ketentuan tentang Tertangkap Tangan dalam KUHAP, maka pungutan liar dapat diartikan sebagai tindak pidana. Namun nyatanya masih ada pelaku yang hanya dikenakan sanksi administratif.

Keberadaan satgas saber pungli dipandang cukup memberikan angin segar dalam upaya pemberantasan pungli. Namun pemerintah juga perlu mengevaluasi kinerja satgas saber pungli. Dalam catatan MaPPI FH UI, pemerintah harus berfokus pada beberapa hal, yaitu pendefinisian pungli sebagai batasan kewenangan satgas saber pungli, perumusan bentuk sanksi sehingga dapat dibedakan secara jelas mana pungli yang hanya perlu dijatuhi hukuman disiplin atau administrasi dengan yang harus menjalani proses pidana, selain itu pemerintah juga harus merekonstruksi legalitas OTT yang dilakukan satgas saber pungli. Terakhir, pemerintah juga harus memikirkan solusi jangka panjang dalam pemberantasan pungli, khususnya di sektor pelayanan publik, bukan hanya dengan menangkap para pelaku saja. Jika hal demikian tidak dilakukan maka keberadaan satgas saber pungli hanya akan menjadi tim pemadam kebakaran dan tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memberantas praktik pungli.

4. Perlindungan Bagi Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum

Tahun 2017, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum sebagai tindak lanjut dari Bangkok Guidelines. Penerbitan aturan ini tentu perlu diapresiasi sebagai bentuk konkrit Mahkamah Agung dalam upaya perlindungan terhadap perempuan yang seringkali terlanggar hak-haknya oleh proses persidangan itu sendiri. 

Perma ini mengatur mengenai:

  • hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan oleh Hakim di persidangan, yakni Hakim diharapkan mampu mengidentifikasikan dan berperan aktif akan adanya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan status social, adanya relasi kuasa, riwayat kekerasan/kekerasan yang berulang, serta adanya dampak psikis terhadap perempuan.
  • hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan Hakim dipersidangan misalnya menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan atas dasar kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender, Menanyakan dan/atau mempertimbangkan pengalaman atau riwayat seksual sebagai korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku, Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
  • adanya kesempatan untuk melakukan pemeriksaan audio visual jarak jauh,
  • Hakim dapat menyarankan serta mengabulkan permintaan PBH untuk didampingi oleh pendamping di persidangan,
  • tuntutan ganti kerugian dan kebutuhan pemulihan bagi perempuan dan penggabungan perkara.

Meski demikian, dengan adanya aturan baru ini bukan berarti permasalahan Perempuan Berhadapan dengan Hukum menjadi selesai. Justru ini adalah langkah awal bagaimana Aparat Penegak Hukum mulai mengakomodir kebutuhan dan hak-hak perempuan serta memiliki sensitifitas gender dalam peradilan, sehingga perempuan juga mendapatkan akses keadilan. Kedepan penting juga untuk dilakukan upaya bagaimana  masyarakat sipil dapat mengawasi implementasi dari Perma tersebut. Sehingga PERMA tersebut tidak hanya menjadi peraturan mati begitu saja.

Persoalan-persoalan tersebut diatas harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah, DPR dan Lembaga Peradilan. Berdasarkan catatan MaPPI FHUI atas kondisi peradilan tahun 2017 lalu, maka setidaknya ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diprioritaskan sepanjang tahun 2018, yakni:

  1. Pembenahan dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Pengadilan
  2. Peningkatan Mekanisme Pengawasan di Peradilan
  3. Kerjasama dengan lembaga lain dalam upaya peningkatan kualitas layanan publik di pengadilan dan pemberantasan korupsi
  4. Sosialisasi dan Implementasi PERMA Nomor 3 Tahun 2017
  5. Pemaksimalan tugas dan fungsi lembaga penegak hukum yang sudah ada dalam upaya pemberantasan korupsi

Jakarta, 7 Januari 2018

MASYARAKAT PEMANTAU PERADILAN INDONESIA (MaPPI) FHUI

Narahubung:

Dio Ashar – 087786130347                                      
Bestha Inatsan – 085778482636
Siska Trisia – 085263496439