RKUHP yang saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi III bersama Pemerintah memasuki tahap akhir. Perkembangan terakhir antara Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi secara resmi mengakhiri masa tugasnya, akan tetapi perumusan norma dalam RKUHP masih berpotensi melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat. LBH Pers dalam kajiannya membagi menjadi 2 bagian permasalahan di RKUHP dalam kaitan Kebebasan berekspresi dan Kebebasan Pers, yaitu

  1. Kebebasan berekspresi,
    1. nama baik pejabat publik,
    2. kehormatan, nama baik dan pencemaran, pencemaran tertulis penghinaan, penghinaan ringan, persangkaan palsu, fitnah, serta pengaduan fitnah atas orang hidup dan orang yang telah mati
    3. Pancasila dan Komunisme/Marxisme – Leninisme
    4. Golongan Penduduk
    5. Penghinaan Agama
    6. Pelanggaran Kesusilaan
    7. Rahasia Jabatan atau Profesi
  2. Delik Pers
    1. Berita atau Pemberitahuan Bohong, Tidak Pasti, Berlebihan atau Tidak Lengkap
    2. Penerbitan dan Percetakan
    3. Gangguan dan Penyesatan Pengadilan
    4. Pertahanan Keamanan, Rahasia Negara dan Kepentingan Negara

Dalam pengaturan di dalam RKUHP memuat pasal yang membatasi ekspresi yang dapat mempengaruhi hakim dalam persidangan, yaitu dalam pasal 329. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi peradilan atau proses sidang pengadilan terhadap perbuatan yang merusak kenetralan pengadilan.

Menimbang pasal tersebut, pengaturan ini mengatur mengenai Contempt of Court (CoC) dimana CoC merupakan sikap-sikap yang dapat dikategorikan dan dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan meliputi[1]:

  1. Berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court);
  2. Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders);
  3. Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing the court);
  4. Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice)
  5. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (sub-judice rule)

Terkait scandalizing the court sebenarnya sudah diatur di dalam kode etik pers, sehingga tidak perlu diatur khusus di dalam RKUHP. Di lain sisi, pengadilan mempunyai prinsip terbuka untuk umum agar masyarakat dapat melihat proses peradilan dan mencegah terjadinya proses yang tidak adil, sehingga kekhawatiran terjadinya obstructing justice  yang diatur dalam RKUHP merupakan suatu hal yang dianggap berlebihan karena di dalam persidangan memiliki peraturan wajib diikuti oleh setiap individu yang hadir di dalam persidangan. Publikasi proses persidangan yang sedang berlangsung dan dapat dipidanakan dianggap sebagai sub-judice rule di dalam RKUHP juga mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945.

Sebelum adanya pengaturan di RKUHP ini, dari hasil penelusuran berita online, tercatat sejak tahun 2011-2015 di setiap tahunnya selalu terjadi pengusiran atau pelarangan peliputan di pengadilan.  Klausul tindak pidana terhadap gangguan dan penyesatan proses pengadilan (Contempt of Court) dalam RKUHP dinilai berlebihan. Selain itu, pasal itu juga terkesan menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis terhadap kinerja keadilan, sehingga dapat berdampak masyarakat dan media takut mengawasi peradilan yang menyimpang baik melalui mekanisme whistle blower system maupun  pemberitaan. Banyak hal yang berpeluang membungkam demokrasi, tidak hanya pers tetapi masyarakat serta muncul peluang kriminalisasi atau pun over kriminalisasi terhadap pers maupun masyarakat yang kritis. Pertanyaannya, apakah Pemerintah, Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Pemasyarakatan sudah siap dengan konsekuensi pemidanaan dalam RKUHP ini?  Jika belum berlakunya RKUHP saja sudah terjadi pengusiran atau pelarangan peliputan di pengadilan, bagaimana jika RKUHP tersebut disahkan?

Release pers beserta kajian kritis LBH Pers dapat Anda unduh di bawah ini.

[1] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514052dfdcf3b/definisi-contempt-of-court