Paska serangan teroris yang terjadi di Thamrin, Jakarta, isu terorisme kembali menjadi sorotan. Wacana untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali muncul. Wacana tersebut memunculkan perdebatan-perdebatan seperti siapa saja yang berwenang untuk terlibat dalam penanganan kejahatan ini, khususnya antara Polisi, BIN, dan Militer.
Dalam rangka menyikapi hal tersebut,Universitas Indonesia bekerja sama dengan Nusantara Center menyelenggarakan Seminar dengan tema “Penegakan Hukum Setelah Reformasi: Paradoks Penegakan Hukum dalam Penanganan Terorisme, antara Perlindungan HAM dan Perlindungan Warga Negara” pada Kamis, 18 Februari 2016 di Gedung Perpustakan Pusat Universitas Indonesia. Dalam Seminar tersebut, hadir sebagai pembicara antara lain, Al Araf dari Imparsial, Prof. M. Bambang Pranowodari UIN Jakarta, Irjen. (Purn) Drs. Ansyaad Mbai sebagai mantan Kepala BNPT, Prof Adrianus Meliala dari Kriminologi UI, Prof. Yusril Ihza Mahendra dari Fakultas Hukum UI, dan sebagai moderator adalah M. Novrizal Bahar.
Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa penanganan tindak pidana terorisme saat ini masih berfokus pada penindakan, khususnya penangkapan. Hal ini semakin diperkuat dalam wacana revisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme masih fokus pada isu usulan menambah kewenangan instansi dalam memberantas terorisme. Padahal dalam prakteknya masih banyak ditemukan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penegak hukum dalam memproses tersangka terorisme. Karenanya, kedepan, usulan penambahan kewenangan tersebut perlu diikuti juga dengan aturan-aturan yang menjadi pedoman dan mencegah aparat dari kesewenang-wenangan dan berpotensi melanggar HAM. Selain itu, dalam wacana revisi Undang-Undang ini perlu juga dipikirkan upaya-upaya pencegahan dan rehabiltasi, selain upaya penindakan.