Kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia menjadi pertimbangan utama kala Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 31 Desember 1981. KUHAP hadir untuk menyelesaikan problem dualisme hukum acara pidana yang diakibatkan oleh masih dipertahankannya peradilan yang berbeda bagi golongan Bumiputera dan golongan Eropa, meskipun telah diberlakukan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Selain itu, minimnya pengaturan tentang jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia membuat HIR dinilai tidak lagi sesuai dengan cita-cita dan kondisi kekinian masyarakat Indonesia sehingga akhirnya pilihan untuk menyusun hukum acara pidana nasional harus diambil.
Pada awal pembentukannya, KUHAP dipandang sebagai pencapaian terbesar bangsa Indonesia karena berhasil meninggalkan nilainilai kolonialisme dalam hukum acara pidana sekaligus melindungi HAM dengan mengatur beberapa ketentuan mengenai bantuan hukum, ganti kerugian, dan sebagainya. Di dalamnya juga dimasukkan beberapa asasasas mendasar seperti praduga tak bersalah; upaya paksa perlu memperoleh izin tertulis dari pejabat yang berwenang dan dilakukan dengan cara-cara yang telah diatur undang-undang; peradilan dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan; dan lain-lain. Pengaturan yang demikian cukup memberi harapan tinggi bahwa peradilan pidana Indonesia akan dijalankan dengan baik dan menjunjung tinggi HAM.
Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlaku, ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam KUHAP ternyata tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dalam praktik. Tingginya angka penyiksaan yang dilakukan penegak hukum kepada tersangka; tidak efektifnya praperadilan sebagai mekanisme kontrol atas upaya paksa; isu transparansi dan akuntabilitas dari penegakan hukum pidana; munculnya berbagai rekayasa kasus; dan sejumlah ekses negatif akibat penyalahgunaan wewenang; cukup menjadi cermin bagi Indonesia untuk memperbarui hukum acara pidana yang berlaku saat ini.
Mengingat begitu pentingnya pembaruan hukum acara pidana, Jurnal Teropong edisi ini secara khusus memfokuskan pembahasan pada 6 (enam) topik penting dalam RUU KUHAP yang patut dijadikan perhatian bagi pemerhati hukum di negeri ini, yang terdiri dari: (1) Hakim Pemeriksa Pendahuluan; (2) Penyadapan; (3) Ketiadaan Proses Penyelidikan; (4) Pembatasan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Penjatuhan Putusan Pemidanaan; (5) Koordinasi Penyidik dan Penuntut Umum; dan (6) Jalur Khusus.
Terima kasih kami sampaikan kepada para kontributor Jurnal Teropong, di antaranya Luhut M. P. Pangaribuan, Supriyadi Widodo Eddyono, Chandra M. Hamzah, Harifin A. Tumpa, Andi Hamzah, dan Choky R. Ramadhan, yang telah bersedia membagi pemikiran-pemikiran beliau tentang pembaruan hukum acara pidana nasional.
Silahkan unduh jurnal selengkapnya dibawah ini: