Sepuluh tahun yang lalu Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 (UU 35/2009) tentang narkotika disahkan, meninggalkan saudara kandungnya yaitu Undang Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Ketimpangan ini tidak banyak disadari publik, sehingga fokus utama penanganan Narkotika dan Psikotropika dicampuradukan pada aturan terbaru, yaitu 35 tahun 2009.

Sepanjang berjalannya UU 35/2009 banyak kesesatan yang terjadi dalam penyelesaian permasalahan sosial terkait penyalahgunaan narkotika atau penggunaan  narkotika. Kesesatan utama, yang kemudian melahirkan aturan dan tindakan irrelevant atau tidak tepat sasaran, adalah bahwa penggunaan dan penyalahgunaan narkotika oleh individu merupakan permasalah sosial di masyarakat yang sama halnya dengan momok lokalisasi prostitusi dan perjudian. Ketiga hal itu akan selalu ada di dalam masyarakat dalam segala bentuk, hanya saja penguasa perlu melakukan regulasi agar supaya tingkat keberadaannya berada dibawah ambang batas. Menarik penyalahgunaan dan pengguna narkotika dalam sistem peradilan pidana sama saja halnya dengan memenjarakan masyarakat, tentu saja hal tersebut bukan menjadi tugas utama lembaga pemasyarakatan (lapas).  Turunan dari kesesatan utama diatas, maka efek langsung yang diturunkan diantaranya adalah:

  1. Indonesia Darurat Narkotika (War On Drugs)

Ujaran langsung oleh Presiden RI diawal tahun 2015 bahwa Indonesia Darurat Narkotika perlu dikaji kembali. Pertama adalah terkait dengan argumentasi bahwa 50 anak bangsa mati setiap harinya karena narkotika. Pernyataan tersebut harus dikritisi terkait ketiadaan pencatatan Rumah Sakit atas alasan kematian seseorang karena kelebihan dosis (overdosis), Persaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) yang saat itu melakukan pendampingan dan pelatihan tata laksana  overdosis (OD) di seluruh Indonesia tidak pernah mendapatkan laporan kematian OD di daerah. Alasannya karena pencatatan kematian di Rumah Sakit yang disebabkan oleh OD tidak pernah dicatatkan sebagai OD melainkan keracunan obat. Kedua, publikasi terakhir dari kementerian kesehatan terkait dengan OD di tahun 2008 sebanyak 8 orang. Dengan demikian argumentasi terkait 50 anak bangsa mati setiap harinya harus dihapuskan dari diskursus kebijakan narkotika di Indonesia dan menggantinya dengan kebijakan berbasis bukti yang ilmiah.

  1. Penjara Indonesia untuk Narkotika

Januari tahun 2019 kapasitas lapas di seluruh Indonesia adalah 127.006 orang sedangkan total narapidana kasus narkotika pada periode yang sama adalah 128.976. Sebanyak 102% kapasitas lapas dihuni oleh kasus narkotika. Tanpa tambahan dari kasus maling ayam sampai dengan terorisme pun, dengan adanya sumbangsih narapidana narkotika, lapas di Indonesia sudah kelebihan kapasitas.  Narasi pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan hadirnya kelebihan kapasitas di lapas sudah sering kali digaungkan, bukan hanya terhadap narapidana penghuni lapas melainkan juga pada keamanan petugas lapas itu sendiri dan kelayakan infrastruktur lapasnya. Badan Narkotika Nasional (BNN) diwakili kepala BNN Budi Waseso pada tahun 2015 juga menyatakan sebesar 50 persen dari seluruh praktik peredaran narkoba yang ada di Indonesia dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan.[1]

  1. Undang Undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Bukti anekdoktal dari komunitas sering kali muncul terkait dengan pengalaman unfair trial kasus Narkotika. Opresi dilakukan oleh petugas yang sudah membawa barang bukti dan memasukan kedalam tas tersangka, kepada perempuan sering kali dilempar kalimat diskriminasi dan dilecehkan secara fisik, sampai pada ketidaktahuan Jaksa terkait peraturan bersama penanganan pecandu narkotika. Dan berakibat pada putusan penjara kepada pecandu narkotika oleh Hakim.[2] Selanjutnya kasus Marry Jane yang juga tetap divonis hukuman mati, dimana terdapat fakta-fakta bahwa Terdakwa tidak didampingi oleh penguasa hukum sejak awal peradilan, tidak mendapatkan penterjemah Bahasa yang kompeten, diputuh Hakin dengan saksi penyidik polisi tanpa adanya saksi kunci, sampai pada putusan hakim yang memberatkan dirinya yang tidak mampu membuktikan ketidakbersalahannya padahal secara filosofis, pembuktian kesalahan pada kasus narkotika, berada pada Jaksa penuntut umum.[3]

Selanjutnya pelaksanaan UU 35/2009 juga berkaitan dengan penggunaan pasal 111, 112, 114, dan 127. Berdasarkan data yang dihimpun ICJR, pasal 111 atau 112 dicantumkan sebagai dakwaan primer/pertama, sebanyak 63 persen. Sementara pasal 114 dicantumkan sebanyak 37 persen. Tragisnya, pasal 127 tidak pernah dicantumkan sebagai dakwaan primer atau pertama. Hal tersebut berdampak pada vonis yang dijatuhkan hakim. Dari 30 putusan, hanya 6 persen yang menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi terdakwa. Seluruh tindakan rehabilitasi, hanya diberikan pada anak.[4]

  1. Penanganan kesehatan setengah hati

Ketika pendekatan kesehatan dimunculkan maka pemerintah menyediakan rehabilitasi narkotika dengan kapasitas 18.000 orang, namun sayangnya penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) pada proyeksi jumlah penyalahguna pada tahun 2019 adalah 3.361.000 orang.

Perjuangan meluruskan kembali kebijakan narkotika kepada marwahnya belum selesai, Undang Undang Narkotika masih dalam tumpukan berkas yang harus direvisi oleh DPR. Tercatat pada website Prolegnas DPR RI pembahasan terakhir pada 8 Maret 2018 lalu masih sangat mentah dan memiliki potensi perbaikan dalam proses formulasinya. Dalam hal ini MaPPI FH UI dalam rangka memperingati Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika tahun 2019, yang bertepatan dengan satu dekade UU 35/2009 Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) mendorong pemerintah untuk:

  1. Mensegerakan dimulainya pembahasan pembaruan Undang Undang Narkotika berlandaskan pendekatan kesehatan masyarakat;
  2. Pelibatan masyarakat sipil (komunitas) dan peneliti dalam proses penyusunan RUU Narkotika; dan
  3. Menutup diskursus dan praktik War On Drugs (Darurat Narkotika) di Indonesia terutama menghentikan pemenjaraan terhadap pengguna narkotika

Depok, 26 Juni 2019

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI)

Narahubung: Rima Ameilia (Peneliti MaPPI FH UI) 081381222105

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170713145408-12-227647/bnn-50-persen-peredaran-narkoba-dikendalikan-dari-penjara

[2] Penelitian Evaluasi Peraturan Bersama Penangangan Pecandu Narkotika oleh MaPPI FH UI, ICJR, Rumah Cemara dan BNN RI tahun 2018.

[3] Eksaminasi Perkara Marry Jane oleh MaPPI FH UI dan LBH Jakarta tahun 2016

[4] Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul “Dilema Hukuman Rehabilitasi Narkoba”, https://tirto.id/dilema-hukuman-rehabilitasi-narkoba-cvF8.