Pada tanggal 25 November hingga 10 Desember dunia internasional memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HaKTP) yang didalamnya termasuk juga rangkaian hari Penyandang Disabilitas (Difabel) tanggal 3 Desember dan hari Hak Asasi Manusia sedunia pada tanggal 10 Desember. Momentum tersebut perlu menjadi refleksi betapa kerentanan perempuan, terutama perempuan Difabel sebagai korban kekerasan maupun bentuk kejahatan lainnya sangatlah kuat. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) mencatat, sepanjang tahun 2017 terdapat sejumlah kasus korban perempuan Difabel yang didampingi. Fakta ini mengkonfirmasi betapa kerentanan Perempuan sebagai kjorban masih menjadi masalah yang seperti gunung es dan belum terpecahkan.

Rendahnya akses pengetahuan, exklusi social baik di level keluarga maupun yang lebih luas menjadikan Perempuan Difabel menjadi subyek yang tidak berdaya dan tak jarang menjadikan posisi yang lebih lemah sebagai korban. Di sisi lain, kurangnya keberpihakan masyarakat Karena pemahaman yang keliru, justru menjadi factor yang semakin menjadikan Perempuan Difabel tak terlindungi. Hal ini terbukti dengan sebagian besar kasus kekerasan terhadap Perempuan Difabel dimana pelakunya adalah orang dekat korban. Riset yang dilakukanoleh MAPPI FH UI mengkonfirmasi bahwa jenis Difabel yang paling banyak menjadi korban adalah Difabel mental intelektual yaitu sebanyak 59%, disusul dengan Difabel tuli 14%, triple Difabel (buta tuli sebanyak 9%, autis 5%, Difabel ganda (Difabel tuli dan mental / psikososial sebanyak 4%. Pelaku kekerasan seksual paling banyak adalah orang yang dikenal korban yaitu 50% adalah tetangga korban, sisanya dilakukan oleh orangtua tiri, saudara tiri dan asing.

Hukum yang Belum Berpihak

Dalam penelitian yang dilakukan oleh SIGAB pada tahun 2014, ditemukan fakta bahwa prosedur hukum juga masih menjadi hambatan. Sejumlah prosedur hukum seperti pada tahap pemeriksaan, penuntutan, maupun persidangan tak jarang justru semakin memposisikan korban Difabel Perempuan semakin tak berdaya, Berbagai hambatan seperti komunikasi, hambatan penglihatan dan pendengaran justru banyak menjadi alasan untuk mengurangi kapasitas Difabel untuk diakui setara di hadapan hukum.

Temuan di atas diperkuat oleh temuan hasil penelitian MAPPI FH UI yang memaparkan bahwa vonis rata-rata untuk tindak pidana kekerasan seksual terhadap korban Difabel adalah 4 tahun dengan vonis tertinggi 11 tahun. Korban di persidangan diketahui tidak didampingi pendamping sebanyak 5%, dengan pendamping 18%, didampingi oleh penterjemah 9% dan 68% tidak diketahui adanya pendamping. Korban yang memiliki pendamping mayoritas didampingi oleh orang terdekat atau keluarga. Sebanyak 82% persidangan juga tidak menghadirkan ahli dalam persidangan.

Lahirnya Undang-Undang 8 2016 telah mengamatkan Negara untuk mendasari kebijakan dan pemenuhan hak atas kesetaraan bagi Difabel dalam berbagai sector, salah satunya adalah di sektor hukum, dimana sebagai turunan dari pelaksanaannya, pemerintah diwajibkan menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam peradilan. Peraturan pemerintah tersebut, nantinya akan menjadi landasan bagi institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) untuk melakukan modifikasi prosedur yang memastikan perlindungan yang lebih adil bagi Difabel, khususnya untuk kasus-kasus kekerasan seksual dimana perempuan Difabel sangat rawan sebagai korban.

Pemerintah sebagai representasi Negara wajib mewujudkan pemenuhan hak sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi Indonesia, Amandemen Undang-UndangDasar 1945 dan memberikan perlindungan kepada seluruh warga Negaranya tanpa diskriminasi. Untuk itu, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), MAPPI FH UI, serta kelompok peserta diskusi dalam peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari Difabel Internasional serta Hari Hak Asasi Manusia bersepakat untuk menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

  1. Pemerintah agar segera mensahkan Rancangan Peraturan Pemerintah turunan dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
  2. Perlunya dilakukan profile assessment pada Difabel berhadapan dengan hokum untuk dapat memahami hambatan, serta menentukan penyesuaian yang lebih memastikan proses peradilan berjalan dengan fair.
  3. Perlu adanya upaya yang lebih nyata dan massif dari lembaga-lembaga penegak hokum untuk meningkatkan kapasitas dari tiap instansi penegak hokum dalam penanganan kasus Difabel berhadapan dengan hukum.
  4. Kerjasama antara penegak hukum, organisasi masyarakat, CSO dalam penanganan perkara dimana perempuan Difabel menjadi korban kekerasan seksual, baik untuk kelancaran penanganan kasus tersebut, terutama untuk pemulihan korban.