Disusun oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan (KPP), Minggu 21 Februari 2016

Tertangkap tangannya Kepala Sub-Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus MA RI, Andri Tristianto Sutrisna, semakin memperjelas bahwa manajemen penanganan perkara pada MA RI masih menyimpan sejumlah permasalahan yang menyediakan celah potensial bagi praktik korupsi di kalangan personil MA. Peristiwa tersebut tentunya merugikan MA secara kelembagaan. Ibaratkan ‘duri’ bagi MA di tengah-tengah upaya gencar yang dilakukan MA dalam memperbaiki nama dan citra lembaganya di mata publik.

Perubahan yang Telah Ditempuh di Bidang Manajemen Perkara

Lima tahun terakhir, MA telah menginisiasi beberapa perubahan besar pada kelembagaan dan sistem kerja penanganan perkara. Pertama, di tahun 2011, MA secara resmi telah menerapkan sistem kamar, yakni sistem yang mengelompokkan hakim agung dalam kamar-kamar perkara sesuai dengan latar belakang dan keahliannya. Perkara yang masuk ke MA selanjutnya diproses dalam kamar-kamar perkara tersebut (kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar TUN, dan kamar pidana militer). Berbeda dengan sistem sebelumnya, penanganan perkara pada MA dilaksanakan melalui mekanisme tim, yang terdiri dari tim A-J. Tiap-tiap tim bisa menangani perkara jenis apa saja. Proses penanganan perkara dengan mekanisme ‘tim’ ini sulit untuk dipantau. Dengan mengelompokkan penaganan perkara ke dalam kamar-kamar, membuat proses menjadi lebih mudah diawasi, dan status penyelesaian perkara juga mudah dilacak.

Perubahan kedua, di tahun 2013, MA menerapkan mekanisme baru dalam pemeriksaan berkas perkara oleh majelis, yang dikenal dengan mekanisme ‘pembacaan serentak’. Sebelumnya, anggota majelis (yang terdiri dari 3 atau 5 orang Hakim Agung), membaca berkas perkara secara bergiliran, mulai dari pembaca satu sampai pembaca terakhir yang juga bertindak selaku Ketua Majelis untuk kemudian menetapkan hari musyawarah. Sistem seperti ini membuat proses penanganan perkara memakan waktu yang sangat lama, yaitu rata-rata selama 638.7 hari untuk satu perkara.[1] Dengan mekanisme ‘pembacaan serentak’, dimana waktu musyawarah sudah ditetapkan sejak majelis menerima perkara, berhasil menurunkan durasi penanganan perkara secara signifikan ke angka 256.1 hari.[2]

Penerapan mekanisme baru tersebut meningkatkan produktivitas MA dalam memutus perkara. Seperti tercatat dalam Laporan Tahunan MA tahun 2014, rasio produktivitas memutus mencapai 76,62%. Hal ini menekan jumlah sisa perkara MA ke angka 4.425 perkara, yang merupakan sisa perkara terendah pada MA selama sepuluh tahun terakhir.

Namun, tingginya produktivitas memutus perkara belum diimbangi dengan produktivitas MA dalam minutasi putusan (proses pengetikan, koreksi, pembuatan salinan, dan pengiriman salinan putusan ke pengadilan pengaju). Akibatnya, beban minutasi putusan pada MA menjadi membengkak. Di tahun 2014 saja, beban minutasi MA berjumlah 12.328 perkara.[3] Angka ini mengalami kenaikan cukup drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.[4] Masih di tahun yang sama, sebanyak 43.97% perkara yang berhasil diminutasi memakan waktu 6-12 bulan, 27.99% memakan waktu lebih dari satu tahun, dan hanya 29.05% perkara yang diminutasi kurang dari 6 bulan.

Lamanya waktu yang diperlukan untuk minutasi putusan menimbulkan beragam implikasi. Selain akan tertundanya pelaksanaan putusan, proses yang panjang dan lambat tersebut selalu berpotensi memberikan celah terhadap praktik korupsi. Salah satunya, salinan putusan bisa di-setting dengan ‘harga’ tertentu, seperti yang terjadi di kasus ATS ini. Bagian selanjutnya akan menjelaskan lebih lengkap permasalahan dalam proses penanganan perkara di MA, celah yang rentan dimanfaatkan, serta rekomendasi pembenahan yang bisa diakukan oleh MA:

Permasalahan dalam Proses Penanganan Perkara pada MA RI

  1. Alur penanganan perkara yang tidak efisien. Penanganan perkara di MA melewati kurang lebih 27 tahapan, sejak berkas perkara diterima oleh Biro Umum sampai dengan dikirim kembali ke pengadilan pengaju. Alur yang panjang tersebut melibatkan 3 (tiga) unit kerja yang berbeda-beda, yaitu: Biro Umum di bawah Badan Urusan Administrasi (BUA), Direktorat Pranata dan Tata Laksana (Pratalak) di bawah Dirjen Badan Peradilan, dan Kepaniteraan Muda (Panmud) di bawah Panitera MA. Tidak jarang proses di satu tahapan, diulang di tahapan yang lain. Misalnya, penelaahan berkas perkara dilakukan oleh Pratalak, tapi proses yang sama juga dilakukan di Panmud. Seharusnya, pengadministrasian penanganan perkara ada di bawah Kepaniteraan MA RI, sesuai dengan fungsi utamanya sebagai unit teknis pada MA.
  2. Proses minutasi putusan yang lama. Akhir 2014, Ketua MA menetapkan SK KMA No. 214 Tahun 2014 yang mengatur jangka waktu penanganan perkara. Berdasarkan SK tersebut, jangka waktu minutasi putusan paling lama 103 hari.[5] Jangka waktu ini dirasa masih terlalu lama, walaupun sudah dikurangi dari pengaturan sebelumnya.[6] Faktor utama yang menyebabkan lamanya proses minutasi putusan adalah format/template putusan yang tidak sederhana. Format yang ‘rumit’ ini masih berbasis aplikasi word, yang diketik secara manual oleh operator pengetik.

Kesalahan kecil seperti typo error dalam pengetikan pun harus dikoreksi secara manual dan berjenjang pula dari Panitera Pengganti (PP) ke Hakim Pembaca Pertama dan terakhir oleh Ketua majelis. Proses pengetikan dan koreksi semakin sulit karena jumlah halaman yang tidak sedikit. Terlalu banyak informasi yang sebenarnya tidak perlu dimuat kembali dalam putusan MA. Putusan perkara pidana khusus (Pidsus) contohnya, rata-rata berjumlah 70 halaman, padahal substansi putusan di tingkat MA berkisar 2-3 halaman, dan yang benar-benar memuat pertimbangan hukum hakim hanya beberapa paragraf dari 2-3 halaman tersebut.

Bisa dibayangkan, betapa tidak efisiennya proses yang harus dilalui untuk ‘menghasilkan’ beberapa halaman putusan yang seharusnya menjadi beban real dalam minutasi. Proses yang tidak efisien ini, tidak hanya meperberat anggaran (untuk pengadaan kertas dan printing), tetapi juga menyedot SDM yang tidak sedikit, yang pada akhirnya berimplikasi pada lemahnya jangkauan pengawasan. Sehingga, tidak mengherankan jika di tahapan ini, banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Selain menunda salinan putusan, tentu kita masih ingat kejadian ‘pemalsuan’ amar putusan beberapa tahun lalu.

  1. Pencatatan proses penanganan perkara yang belum sepenuhnya berbasis teknologi informasi. Penyelesaian perkara dari satu tahap ke tahapan berikutnya masih dicatat secara manual oleh masing-masing penanggungjawab dalam buku jurnal atau biasa disebut dengan buku ekspedisi perkara. Metode pencatatan ini pun standard-nya beragam. Praktik yang demikian tentunya rentan terhadap keamanan dan kerahasiaan berkas perkara. Bisa saja berkas sengaja tidak diteruskan, diendapkan, atau dihilangkan oleh oknum tertentu.

Selain itu, MA belum memanfaatkan teknologi sistem informasi dalam pencatatan proses tersebut. Hal ini menyulitkan Panitera MA untuk memantau dan mengetahui status penanganan perkara secara real time. Praktiknya, MA memang sudah memiliki beberapa sistem informasi seperti SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) dan Info Perkara. Namun, sistem tersebut masih mengandung permasalahan. Diantaranya, informasi yang dimuat pada info perkara masih sangat sedikit dan belum tentu update.

Informasi yang dimuat pada info perkara hanya nomor register, susunan majelis, tanggal musyawarah dan amar putusan (dengan sistem one day published). Belum ada info yang detail khususnya di tahapan minutasi. Sehingga, para pihak masih cenderung menggunakan informasi ‘orang dalam’ hanya untuk mengetahui status perkaranya. Sebaliknya oknum di MA pun memanfaatkan kondisi ini untuk ‘memperjual-belikan’ informasi kepada pihak yang berperkara.

Selain itu, Kepaniteraan MA belum memiliki unit kerja khusus untuk mengelola data dan informasi perkara, termasuk mengelola sistem informasi tersebut. Fungsi ini tersebar di beberapa unit, ada yang di bawah Kepaniteraan Muda, dan ada yang di bawah Panitera MA. Sehingga, data dan informasi perkara belum maksimal dikelola untuk kepentingan pelaporan, pengawasan, dan dasar pembentukan kebijakan bagi Pimpinan.

Rekomendasi

Dari penjabaran 3 (tiga) permasalahan utama dalam manajemen perkara MA di atas, Berikut rekomendasi yang diusulkan oleh KPP, yang bisa dilaksanakan oleh MA dalam 2 (dua) skala prioritas jangka waktu, yaitu:

a. Jangka Pendek

  • Penyederhanaan alur penanganan perkara dengan memusatkan proses pengadministrasian perkara di bawah Kepaniteraan MA RI, untuk memudahkan proses monitoring penyelesaian perkara, dan tahapan penanganan perkara menjadi efisien.
  • Penyederhanaan format putusan MA, yang berfokus pada pertimbangan hukum majelis hakim.
  • Pemanfaatan aplikasi dalam proses pemeriksaan berkas perkara, minutasi putusan, dan pengiriman salinan putusan.
  • Pemanfaatan teknologi sistem informasi dalam pencatatan status penyelesaian perkara yang update dan dapat diakses secara real time oleh MA dan pihak yang berperkara.
  • Pembentukan unit kerja khusus di bawah Kepaniteraan MA untuk mengelola data dan informasi perkara.

b. Jangka panjang:

Mengembalikan fungsi kasasi MA ke pelaksanaan fungsi kasasi yang semestinya. Selama MA masih memutus perkara (judex factie) yang langsung mengikat pihak berperkara, celah korupsi akan terus ada. Karena, pihak berperkara akan terus mencoba mencari celah agar perkaranya bisa dimenangkan melalui usaha-usaha yang koruptif (pemberian suap salah satunya). Sebaliknya, aparatur di tingkat MA pun jadi tidak punya kesempatan untuk ‘memperjualbelikan’ perkara.

KOALISI PEMANTAU PERADILAN
(MaPPI-FHUI, LeIP, YLBHI, ILR, PSHK, ICW, ICJR, ICEL dan LBH Masyarakat)

Narahubung: Julius Ibrani (YLBHI): 081314969726
Dio Ashar Wicaksana (MaPPI): 081317167820

Alur Penanganan Perkara pada MA

Berdasarkan Surat Keputusan KMA No. 214 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara, jangka waktu penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung paling lama 250 hari kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Mulai dari penerimaan berkas hingga pengiriman kembali berkas ke pengadilan pengaju.

alur

[1] Lihat laporan MA RI Tahun 2014, hlm.10.

[2] Ibid.

[3] Ibid., hlm. 78.

[4] Beban minutasi putusan pada MA di tahun 2013 berjumlah 7.415 dan di tahun 2012 berjumlah 7.764 perkara. Lihat Laporan Tahunan MA tahun 2013, hlm. 52.

[5] Kecuali perkara-perkara khusus yang jangka waktu penanganan perkaranya sudah ditentukan oleh undang-undang.

[6] Sebelum SK KMA No. 214 Tahun 2014 ditetapkan, jangka waktu penanganan perkara pada MA RI diatur dalam ketentuan SK KMA No. 138 Tahun 2009.