Saat ini, Pemerintah dan DPR sedang melakukan pembahasan Rancangan KUHP, dimulai dengan pembahasan Buku I. Tidak lama lagi, DPR berkomitmen akan masuk dalam pembahasan Buku II, segera setelah perumusan ulang hasil pembahasan Buku I disepakati, kabarnya, pertengahan tahun ini. Buku II Rancangan KUHP, mengatur mengenai tindak pidana beserta ancaman pidananya.
Dari sejumlah pasal-pasal tersebut, masih ditemukan pengaturan ketentuan umum dan tindak pidana yang berpotensi menimbulkan banyak perdebatan. Aliansi Nasional Reformasi KUHP merasa perlu untuk mengingatkan masyarakat dan Pemerintah serta DPR untuk tidak melepaskan fokus pada pembahasan pasal-pasal krusial ini di DPR. Ada beberapa catatan utama terkait buku II RKUHP, sedari awal Aliansi KUHP telah mencatat beberapa isu penting, diantaranya :
- Tindak pidana yang terkait dengan posisi individu terhadap Negara, dimana pasal-pasal proteksi Negara yang cukup menguat (misalnya penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, penghinaan terhadap badan umum, dll)
- Tindak pidana yang terkait perlindungan kepentingan publik atau masyarakat, belum cukup diatur untuk melindungi masyarakat (tindak pidana perdagangan orang, korupsi, narkotika dll)
- Tindak pidana yang terkait moral/victimless crime yang cenderung mengalami overcriminalisasi (zinah, hidup bersama, prostitusi jalanan, dll)
- Meningkatnya ancaman pidana dengan pendekatan utama pemenjaraan (ancaman pidana meningkat tajam mengakibatkan penahanan mudah dilakukan, overkriminalisasi dan eksesif)
- Sistem kodifikasi yang tidak jelas
Dari gambaran problem tersebut, maka dapat dilihat bahwa buku II KUHP bersifat lebih eksesif dan “menjajah“ warga negara sendiri dari pada KUHP buatan kolonial yang saat ini berlaku. Aliansi KUHP)menilai bahwa ketiadaan pola pemidanaan, pengulangan dan naiknya ancaman pidana menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar yang kuat dalam merumuskan suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana, tingkat keseriusan, sampai dengan menentukan ancaman pidana.
Dalam beberapa praktik, pengaturan seperti ini kemudian nyata-nyata menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Contohnya dapat dilihat misalnya dibangkitkannya lagi penghinaan presiden dan pengehinaan pada pemerintah yang sah yang jelas-jelas sudah dinyatakan inkonstitusional dan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi. Aturan seperti ini juga akan kembali membangkitkan problem Rutan dan Lapas yang kelebihan beban, sebab aturan yang sangat menekankan penggunaan pidana penjara dengan ancaman yang sangat tinggin dan rumusan yang mengakibatkan orang mudah untuk diproses pidana.
Atas dasar itu, Aliansi KUHP meminta agar pemerintah dan DPR untuk lebih fokus nantinya melakukan pembahasan buku II. Dan kepada masyarakat untuk tetap mengawal isu pemidanaan ini, sebab sangat berbahaya apabila negara sangat eksesif pada warga negaranya.
BAliansi Nasional Reformasi KUHP Elsam, ICJR, PSHK, ICW, LeIP, AJI Indonesia, LH Pers, Imparsial, KontraS, HuMA, Wahid Institute, LBH Jakarta, PSHK, ArusPelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, ECPAT.