HAKIM HARUS TOLAK GUGATAN PRAPERADILAN BUDI GUNAWAN

Perkara Praperadilan Budi Gunawan (BG) kembali dimulai disidangkan pada Senin, 9 Februari 2015. Selama empat hari (Senin-Kamis), persidangan memasuki tahap pembuktian dari keduabelah pihak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI memantau secara keseluruhan proses persidangan tersebut. Oleh karena itu, MaPPI merasa perlu untuk memaparkan poin-poin menarik berdasarkan hasil pemantauan tersebut.

Pertama, Gugatan Praperadilan yang diajukan BG kurang tepat untuk diajukan. Gugatan tersebut melampaui aturan dalam KUHAP. KUHAP sudah mengatur Praperadilan secara limitatif, di mana Praperadilan hanya untuk menetapkan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, serta menetapkan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan – Agustinus Pohan, yang menyatakan:

Jika soal kewenangan praperadilan baca pasal 77 KUHAP jelas tak ada kewenangan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka. Namun jika melihat Pasal 95 KUHAP ada klausul tindakan lain. Apa yang dimaksud dengan tindakan lain. Menginterpretasikan tindakan lain harus melihat apa tujuan praperadilan. Dalam hal ini tujuannya adalah mengawasi tindakan-tindakan penyidik untuk menghindari kesewenang-wenangan. Dalam hal ini tindakan penyidik tersebut yang terkait dengan upaya paksa. Upaya paksa itu seperti penangkapan, penggeledahan dll. Pertanyaannya apakan penetapan tersangka adalah merupakan kategori upaya paksa? Dalam hal ini kategori upaya paksa berarti segala upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam hal merampas hak asasi serta kemerdekaan seseorang. Sehingga tindakan penyidik KPK dalam rangka penetapan tersangka tidak masuk dalam kualifikasi upaya paksa. Karena bukan kualifikasi upaya paksa maka lembaga praperadilan harus memutus dahulu kewenangannya dalam pemeriksan gugatan. Jika masuk dalam pembuktian kemudian diputus tak berwenang menjadi tak logis.”

Permohonan BG yang meminta untuk menyerahkan berkas terkait perkara pidana ini ke Kepolisian RI, dan menetapkan seluruh penetapan yang dikeluarkan KPK tidak sah dan cacat yuridis dinilai terlalu jauh melampaui kewenangan dari praperadilan.  Pada titik ini, sudah jelas, bahwa perkara BG sama sekali tidak bisa diselesaikan melalui upaya Praperadilan.

Kedua, sebagian besar saksi maupun ahli yang diajukan tidak memiliki relevansi dengan perkara BG. Sebagian besar saksi yang dihadirkan oleh Pemohon memberikan keterangan di luar konteks perkara ini atau informasi yang diketahuinya secara faktual. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dalam pembuktian. Pembuktian hanya mengenai perkara yang dipersidangkan. Misalnya, keterangan saksi Hasto bahkan lebih terkesan seperti testimoni politik dibandingkan menyangkut perkara Budi Gunawan.

Ketiga, dalam memeriksa perkara ini, hakim seharusnya memeriksa terlebih dahulu kompetensi pengadilan dan objek Praperadilan. Hakim tidak boleh langsung memasuki pokok perkara Praperadilan. Dengan demikian, apabila objek yang diajukan BG tidak dapat diperiksa dan diputus oleh Praperadilan, hakim tidak perlu melanjutkan persidangan ke tahapan selanjutnya.

Hal ini diperkuat oleh pendapat ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada – Prof Eddy OD Hiariej yang mengatakan:

“Jika melihat sifat formalistiknya hukum acara pidana maka sebetulnya gugatan tersebut harus ditolak. Karena bukan kompetensi praperadilan terkait penetapan tersangka. Ada prinsip dalam hukum acara pidana harus jelas, tegas dan tidak boleh diintrepetasikan lain dari yang tertulis. Artinya apa yang diatur dalam hukum acara pidana tidak boleh diinterpetasikan lain dari yang tertulis, sehingga penetapan tersangka jelas bukan objek praperadilan. Oleh karenanya sudah seharusnya hakim memutus dahulu bahwa lembaga praperadialn tak berwenang memeriksa. Logikanya buat apa menghabiskan waktu jika hakim paham bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan”

Selain hal tersebut di atas, kuasa hukum Budi Gunawan juga telah dengan keliru memahami undang-undang dan secara tidak langsung berusaha membentuk opini publik. Upaya ini jelas terlihat ketika kuasa hukum berusaha mengkonstruksikan logika bahwa Budi Gunawan saat menjabat sebagai Karobinkar bukanlah seorang penyelenggara negara karena hanya eselon dua dan bukanlah penegak hukum karena tak punya kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini dapat diterjemahkan dalam dua hal: Pertama, kuasa hukum Budi Gunawan tak paham bahwa menilai apakah yang bersangkutan masuk ke dalam kualifikasi penegak hukum dan penyelenggara negara adalah bukan merupakan wilayah Praperadilan. Menilai hal tersebut sudah merupakan urusan pokok perkara di mana KPK dan kuasa hukum harus membuktikan unsur-unsur delik.

Kedua, logika yang dibangun kuasa hukum nyata-nyata sesat pikir. Hal ini karena Budi Gunawan sebagai anggota polri jelas seorang penegak hukum. Di samping itu ia juga melekat fungsi administratif sehingga dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Islam Indonesia – Ridwan HR yang menyatakan:

“Kualifikasi penyelenggara negara dalam administrasi negara dilihat dari 2 hal, pertama, apakah yang bersangkutan duduk dalam sebuah struktur lembaga publik. Kedua, apakah yang bersangkutan mendapatkan tunjangan/gaji dari APBN. Dalam konteks ini Budi Gunawan masuk dalam kualifikasi pejabat publik sehingga masuk dalam kategori penyelenggara negara. Selain itu, ia jelas masuk dalam kategori penegak hukum karena institusi tempat Budi Gunawan bernaung adalah institusi penegak hukum sehingga atribut penegak hukum juga melekat pada dirinya.  Dalil kuasa hukum bahwa Budi Gunawan tak masuk kedalam kualifikasi penegak hukum karena dalam jabatannya sebagai Karobinkar hanya berhubungan dengan internal kepolisian juga keliru. Karena jabatannya sebagai karobinkar memiliki fungsi dan peran membantu lancarnya fungsi-fungsi kepolisian dimana kepolisian adalah merupakan salah satu institusi publik.”

Oleh karena itu, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyatakan bahwa gugatan Praperadilan yang diajukan BG tidak tepat. Secara formil, gugatan Praperadilan sudah diatur secara limitatif dalam KUHAP. Oleh karena itu, kami berharap hakim yang memutus perkara ini dapat melihat kasus ini secara objektif dan menolak permohonan gugatan Praperadilan yang diajukan oleh BG.

Jakarta, 15 Februari 2015

KOALISI MASYARAKAT SIPIL ANTI KORUPSI
Masyarakat Pemantau Peradilan FH UI
Indonesia Corruption Watch
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Indonesia Legal Roundtable
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

Kontak:
Choky Risda Ramadhan (081808227962)