Pada tanggal 3 September 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini memberi terobosan yang baik di tengah terus naiknya pemberitaan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan keresahan mahasiswa akan absennya peran optimal lembaga pendidikan dalam upaya penegakan kekerasan seksual.
 
Dalam laporan kolaboratif dari Tirto, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post dengan tajuk #NamaBaikKampus, setidaknya terdapat 174 kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang tersebar di 79 perguruan tinggi dari 29 kota di Indonesia. Data ini diperkuat dengan temuan survei Menristekdikbud pada tahun 2019 yang menunjukkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. Dalam riset lain yang dilakukan oleh Nindhi Meilia Seba Ardi dan M. Tamsil Muis di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (FBS UNESA), setidaknya sebanyak 40% dari 304 mahasiswa FBS UNESA pernah mengalami kekerasan seksual, dengan 80% kasus yang dialami oleh korban terjadi di kampus. Kondisi ini menunjukkan adanya urgensi payung hukum yang dapat menjawab permasalahan dalam penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang saat ini sudah menjadi isu nasional, terlebih dengan adanya kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi FISIP UNRI.

Permendikbudristek hadir dengan mengatur aspek-aspek penting dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di kampus. Mulai dari pengaturan definisi kekerasan seksual dengan menekankan pada ketiadaan consent atau persetujuan, termasuk persetujuan yang tidak sah (non-competent consent); upaya pencegahan baik oleh perguruan tinggi, pendidik dan tenaga didik, dan mahasiswa; penanganan kekerasan seksual dalam bentuk pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan; pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di perguruan tinggi; mekanisme penanganan kekerasan seksual mulai dari penerimaan laporan hingga tindakan pencegahan keberulangan; hak-hak korban dan saksi; hingga pemantauan dan evaluasi oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dan Mendikbudristek.

Kehadiran Permendikbudristek ini disambut baik oleh banyak kalangan, namun tidak sedikit pula pihak yang menyuarakan penolakannya, dengan argumen bahwa Permendikbudristek ini berpotensi akan melegalkan praktik perzinahan dan LGBT di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini patut disayangkan, mengingat tidak ada satupun pengaturan dalam Permendikbudristek yang mengatur, melegalkan, maupun memberikan perlindungan terhadap perzinahan dan LGBT. Ketiadaan pelarangan dalam Permendikbudristek juga tidak dapat serta merta ditarik sejauh legalisasi atau perlindungan terhadap perzinahan dan LGBT.

Di samping itu, perzinahan dan orientasi seksual tidak memiliki relevansi dengan kekerasan seksual. Perzinahan merupakan masalah moralitas, sedangkan kekerasan seksual merupakan masalah yang melibatkan isu lebih kompleks. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang memberikan dampak yang besar terhadap korban mulai dari dampak psikis seperti trauma, dampak kesehatan, hingga dampak sosial berupa pengucilan dari masyarakat. Dalam konteks dalam institusi pendidikan, tidak sedikit korban yang harus terus berinteraksi dengan pelaku kekerasan seksual baik sebagai pendidik maupun sesama mahasiswa sehingga menyulitkan pemulihan mereka, hingga korban kesulitan melanjutkan pendidikan. Karena itu, penanganan kekerasan seksual yang terjadi dalam institusi pendidikan tinggi, memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dengan norma hukum seperti Permendikbudristek. Perlu diingat kembali bahwa norma hukum tidak seharusnya menjadi jalan pintas dalam menangani permasalahan moralitas di tengah-tengah masyarakat, terutama mengingat bahwa masih terdapat norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan yang dapat digunakan dalam mengatur perilaku bermasyarakat.

Argumentasi yang diutarakan dalam upaya penolakan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 justru berpotensi menimbulkan stigma dan inkonsistensi komitmen bersama dalam perlindungan dan akses keadilan bagi korban, yang berakhir dengan terhambatnya implementasi Permendikbudristek tersebut. Padahal, terdapat banyak aspek-aspek baik dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang diatur dalam Permendikbudristek yang patut diimplementasikan dengan segera demi menjamin perlindungan dari kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Hal ini terlebih mengingat bahwa kasus kekerasan seksual di kampus sangat sulit untuk diproses. Kita masih ingat kasus Agni yang mengalami kekerasan seksual di UGM dan berakhir dengan upaya damai, belum lagi mahasiswi Universitas Riau yang justru dilaporkan balik oleh terduga pelaku yang adalah dosennya sendiri.

Kondisi ini justru semakin menunjukkan urgensi agar Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 segera diimplementasikan untuk memberikan pelindungan bagi korban-korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Tidak hanya itu, mekanisme pemantauan dan evaluasi penanganan kekerasan seksual berdasarkan Permendikbudristek juga harus berjalan demi memastikan efektivitas implementasi dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, MaPPI FHUI menyatakan sikap sebagai berikut:

  • Mengapresiasi langkah baik Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia dalam menerbitkan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang memberi terobosan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
  • Menyayangkan adanya penolakan dan perdebatan tentang legalisasi zina dan LGBT dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Perdebatan ini justru mengaburkan tujuan utama dalam Permendikbudristek, yakni memberikan jaminan perlindungan korban dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi secara lebih baik.
  • Perlu adanya perspektif untuk menghapuskan stigma dan prasangka negatif terhadap Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, karena sejatinya Permendikbudristek ini dibentuk untuk memberikan jaminan atas penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, serta pelindungan terhadap korban kekerasan seksual yang selama ini sulit mengakses keadilan bagi dirinya.
  • Mendorong agar Perguruan Tinggi segera mengimplementasikan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, serta agar seluruh pihak—baik Perguruan Tinggi, pendidik, tenaga didik, peserta didik, maupun pihak lain dalam lingkungan perguruan tinggi agar melaksanakan dan memantau pelaksanaan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 agar dapat berjalan efektif sebagaimana diharapkan.

Narahubung
Maria Isabel Tarigan
(Research Associate)

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia/MaPPI FHUI
Email: office@mappifhui.org