Hukum pidana seharusnya hanya untuk hal-hal penting. Bila negara terlalu banyak mengkriminalisasi perbuatan, rakyat tak lagi tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Massa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi terlibat kericuhan dengan petugas kepolisian saat menggelar aksi solidaritas untuk kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Jalan Sudirman, DI Yogyakarta, Selasa (23/2). Dalam aksi itu mereka menyerukan kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk melakukan konsolidasi guna merebut kembali ruang-ruang demokrasi. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc/16.

Massa yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Demokrasi terlibat kericuhan dengan petugas kepolisian saat menggelar aksi solidaritas untuk kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Jalan Sudirman, DI Yogyakarta, Selasa (23/2). Dalam aksi itu mereka menyerukan kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk melakukan konsolidasi guna merebut kembali ruang-ruang demokrasi. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc/16.

JAKARTA, Indonesia – Pembahasan uji materi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terus berjalan di Mahkamah Konstitusi. Persidangan pada Kamis, 22 September 2016, membahas kriminalitas dan pemidanaan sebagai upaya terakhir kontrol masyarakat.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) selaku pihak terkait dan dua saksi ahli yang dihadirkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

“Pemidanaan itu seharusnya menjadi langkah terakhir, atau last resort, saat upaya lainnya tidak berhasil,” kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah di persidangan pada Kamis di Jakarta.

Hal ini berkaitan dengan permohonan dari Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dan beberapa pihak lainnya, yang ingin mengubah pasal 284, 285, dan 292 KUHP. Bila perubahan benar-benar terjadi, pelaku hubungan seks luar nikah dan hubungan seks sesama jenis dapat dilaporkan sebagai tindak pidana. Sebelumnya, pidana hanya dikenakan bagi pelaku zinah yang sudah menikah dan hubungan seksual sesama jenis dengan anak-anak.

Dampak pemidanaan

Menurut Roi, sebelum memutuskan untuk menjadikan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tindak pidana, perlu ada pertimbangan yang matang. Konsekuensi tersebut adalah kerasnya hukuman yang diterima juga stigma sosial bagi terpidana.

“Maka kalau ada upaya pencegahan yang lain, lebih baik itu yang diambil,” kata Roi. Daripada menghukum, lanjut dia, lebih baik mengutamakan pencegahan atas tindakan-tindakan yang disebutkan.

Roi melihat perlunya meningkatkan peran sekolah, orang tua, dan pemuka agama dalam hal pencegahan. Selain itu, hal penting lainnya adalah mencegah timbulnya pelaku kejahatan baru.

Bahrain, pihak terkait dari YLBHI, mengatakan kalau peran negara sangat minim dalam mendampingi korban. “Tidak hanya pemerkosaan, tapi juga korban sodomi anak-anak. Negara tidak mendampingi proses pemulihan mereka,” kata dia.

Padahal, ada potensi pelaku kejahatan sebelumnya pernah menjadi korban. Bahrain menilai, pendampingan serta pemulihan sangat penting untuk memastikan lingkaran ini terputus.

Sayangnya, solusi tersebut sangat jarang, bahkan hampir tidak ada dari negara. Menurut Bahrain, setelah berhasil menindak pelaku, pemerintah langsung lepas tangan begitu saja.

Ia juga melihat sistem lembaga permasyarakatan, atau penjara, di Indonesia, justru memperburuk nasib narapidana. Tak sedikit napi yang begitu keluar terinfeksi penyakit kelamin karena sodomi, ataupun malah terjangkit narkoba.

Tindak pidana baru

sidang-mk-mengapa-pidana-hubungan-seksual-bukan-jawaban-1Dari sisi hukum, Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Anugerah Rizki Akbari melihat adanya fenomena kriminalisasi berlebihan di Indonesia.

“Sejak reformasi sampai saat ini, sudah ada 112 tindak pidana baru dalam UU,” kata dia dalam persidangan. Dengan demikian, dari total 1161 perbuatan yang dapat dipidanakan, dalam 10 tahun ini pemerintah sudah menambahkan 716; termasuk pelaporan pencemaran nama baik hingga perobekan arsip.

Indonesia, lanjut Rizki, memiliki masyarakat yang suka menghukum. Segala sesuatu ingin segera dipidanakan, padahal belum tentu efektif.

Menurut dia, seharusnya ada pengkajian penuh secara data faktual. Hal ini dapat menjadi evaluasi tersendiri terkait keefektifan suatu peraturan.

Sayangnya, hal tersebut tak tampak. Rizki melihat ada masalah dalam hal turunan UU, seperti penegakan hukum. Untuk pemerkosaan, misalnya, ia melihat hakim jarang memberi huukuman maksimal.

“Bisa sampai 12 tahun, tapi selama ini rata-rata hanya 3 tahun atau kurang. Itu bagaimana? Ada masalah di situ,” kata dia.

Roi menambahkan kalau seharusnya penentuan pidana atau tidak, dipertimbangkan dari bidang lain. “Seperti psikologi dan kedokteran, saya harap ada pandangan dari sisi tersebut,” kata dia.

Hukum pidana seharusnya hanya untuk hal-hal penting. Bila negara terlalu banyak mengkriminalisasi perbuatan, maka rakyat tak lagi tahu manakah yang betul atau salah. “Tindak pidana semakin banyak berujung pada pemidanaan semakin banyak, dan ketidakadilan semakin tinggi,” kata dia.

Bagaimanapun juga, lebih mudah untuk mengobati daripada untuk mencegah. Demikian pula untuk kejahatan, lebih mudah menghukum daripada menghilangkan akar masalahnya.

Sumber: rappler.com.