Ahli menyarankan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan seyogyanya diarahkan pada hal-hal yang penting.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan pengujian Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285 (pemerkosaan), dan Pasal 292 (pencabulan homoseksual) dalam KUHP bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). YLBHI berpendapat perluasan pasal kesusilaan yang tengah diperjuangkan 12 warga negara yang dimotori Guru Besar IPB Euis Sunarti adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang (UU).
“Ini karena permohonan para Pemohon meminta pembentukan norma baru dengan memperluas definisi dan makna ketiga pasal tersebut,” ujar salah kuasa hukum Badan Pengurus YLBHI, Bahrain saat menyampaikan pandangannya sebagai pihak terkait di sidang lanjutan pengujian pasal perzinaan di ruang sidang MK, Kamis (22/9).
Dia mengingatkan MK harus tetap mempertahankan kewenangannya sebagai negative legislator, bukan sebagai pembentuk norma baru seperti ditegaskan dalam putusan MK No. 30-74/PUU-XII/2014. Misalnya, seperti tuntutan para Pemohon dalam pengujian Pasal 284 KUHP agar semua orang yang berhubungan seksual di luar pernikahan atas dasar suka sama suka sekalipun bisa dipidana.
Pasal 57 ayat (2a) huruf c UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK telah menyebutkan putusan MK tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. “Kalau ini dilanggar, berarti MK telah melanggar kewenangannya dan bentuk intervensi proses demokrasi dalam pembentukan norma hukum baru,” kritiknya.
Bahrain menginformasikan saat ini DPR dan Pemerintah tengah membahas RUU KUHP hingga pembahasan Buku II. “Kita harap agar MK tetap konsisten sebagai negative legislator dan menyerahkan persoalan ini kepada pembentuk UU,” tegasnya.
Dijelaskan Bahrain, norma Pasal 292 KUHP masih relevan untuk saat ini yang spesifik bertujuan melindungi anak-anak dari perbuatan cabul orang dewasa laki-laki atau perempuan atau pedophilia. Aturan ini juga dilengkapi UU Perlindungan Anak. Alih-alih melindungi kepentingan terbaik anak, para Pemohon malah meminta MK membuat norma baru dengan memperluas makna pencabulan sesama jenis dalam Pasal 292 KUHP termasuk korban orang dewasa.
“Permohonan ini melanggar hak privasi, prinsip nondiskriminasi, dan hak penghormatan martabat manusia yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” dalihnya.
Meski begitu, YLBHI tidak keberatan terhadap perluasan Pasal 285 KUHP yang diminta para Pemohon. Namun, lagi-lagi permintaan ini seharusnya melalui proses legislasi di DPR. Alasannya, pasal ini diskriminatif karena hanya memberi perlindungan kepada perempuan yang bukan istri pelaku (pemerkosaan), dan tidak melindungi laki-laki.
Praktiknya, unsur perkosaan terjadi apabila ada penetrasi alat kelamin (persetubuhan), tetapi bentuk perkosaan lain seperti pemaksaan oral, sodomi, dan lain-lain tidak bisa dipidana berdasarkan Pasal 285 KUHP. “Karena itu, kami memohon MK menolak permohonan ini,” pintanya.
Dalam sidang ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai pihak terkait menghadirkan dua ahli. Salah satunya, Peneliti MaPPI FHUI Anugerah Rizki Akbari. Dia menyarankan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan seyogyanya diarahkan pada hal-hal yang urgent atau penting. Tidak semua permasalahan sosial memiliki nilai kriminalitas dan efektif diselesaikan dengan pendekatan pemidanaan. “Kalau terlalu banyak kriminalisasi perbuatan, nanti lama-lama kita tidak tahu mana perbuatan baik atau yang tidak?” kata Anugerah Rizki.
Lagipula, kata Rizki, faktanya pemidanaan terhadap suatu perbuatan terkadang tidak proporsional dengan hukuman pidana yang dijatuhkan. Dia membandingkan tindakan membocorkan atau merusak arsip negara dipidana 10 tahun penjara dalam UU Kearsipan, sementara tindak pidana suap dalam UU Pemberantasan Tipikor hanya dipidana 5 tahun penjara. “Ini kan tidak match (tidak sebanding), banyak contoh yang lain,” kata Rizki.
Menurutnya, apabila permohonan ini dikabulkan dengan memperluas tindak pidana kesusilaan potensial over kriminalisasi yakni tingginya angka penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Hal ini berimbas langsung pada kewajiban negara terkait kebijakan penal, memperbanyak fasilitas dalam proses peradilan dan lembaga pemasyarakatan.
“Apabila hal-hal ini tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan. Jadi, seharusnya kriminalisasi ditujukan pada hal-hal yang penting dan berdampak luas,” sarannya.
Seperti diketahui, MK pengujian Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Guru Besar IPB Bogor, Euis Sunarti, dkk. Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dimaknai bersyarat agar sejalan dengan norma agama, Pancasila, dan UUD 1945. Misalnya, memperluas makna perzinaan yang tak hanya terbatas salah satu pasangan atau keduanya terikat perkawinan (27 BW), tetapi termasuk hubungan badan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan (free sex). Sebab, secara a contrario Pasal 284 KUHP bermakna persetubuhan suka sama suka di luar perkawinan bukan tindak pidana (praktik prostitusi).
Berlakunya frasa “perempuan yang bukan istrinya” dalam Pasal 285 KUHP pun seharusnya dimaknai menjadi “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa…”. Artinya, korban perkosaan tak hanya wanita, tetapi faktanya bisa terjadi terhadap laki-laki termasuk perkosaan terhadap sesama jenis.
Selain itu, frasa “yang belum dewasa” dan frasa “sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP menunjukkan negara hanya memberi kepastian perlindungan hukum terhadap korban yang diketahuinya yang diduga belum dewasa atau tidak memberi perlindungan terhadap korban yang telah dewasa. Artinya, setiap jenis perbuatan cabul “sesama jenis” baik dewasa ataupun belum dewasa seharusnya dapat dipidana (lesbian, gay, biseksual, dan transgender, LGBT).
Untuk risalah sidangnya, bisa dilihat di sini. Semoga membantu ya.
Sumber: hukumonline.com.