Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang non Yudisial Suwardi secara terang-terangan meminta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menghapus keberadaan Komisi Yudisial (KY) dari Pasal 24B UUD 1945. Pernyataan Wakil Ketua MA tersebut patut diduga merupakan salah satu rentetan upaya pelemahan terhadap Komisi Yudisial. Tecatat hingga hari ini ada empat upaya besar yang dapat dikategorikan sebagai upaya pelemahan.

Pertama, pelemahan Komisi Yudisial melalui judicial review UU KY. Tahun 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim MK. Di tahun 2012, Mahkamah Agung membatalkan 8 poin dalam Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Yang paling mutakhir, tahun 2015 IKAHI mengajukan JR UU KY ke MK terkait keterlibatan KY dalam Seleksi Pengangkatan Hakim. Padahal keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim merupakan upaya menjaga integritas dan profesionalitas calon hakim demi peradilan bersih dan bermartabat.

Kedua, pelemahan Komisi Yudisial melalui kriminalisasi Komisioner. Beberapa hari yang lalu dua komisioner KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Syahuri, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldi. Penetapan ini terkesan ganjil mengingat kedua komisoner tersebut mengeluarkan pernyataan dalam rangka melaksanakan tugas Komisi Yudisial.

Ketiga, sejumlah rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindaklanjuti. Tak jarang rekomendasi KY atas pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik tak ditindaklanti oleh Mahkamah Agung. Rekomendasi atas dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh hakim sarpin hingga kini tak kunjung direspon. Keempat, Hakim menolak diperiksa Komisi Yudisial. Hakim praperadilan Budi Gunawan, Hakim pemeriksa perkara Antasari Azhar, Kasus eksekusi gedung arthaloka, bahkan Mantan Ketua MA Bagir Manan menolak diperiksa oleh Komisi Yudisial.

Lahirnya KY merupakan amanat reformasi dalam hal reformasi peradilan. Reformasi tersebut salah satunya memberikan MA sebagai pucuk peradilan kewenangan yang luas untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Luasnya kewenangan MA tersebut haruslah diawasi sehingga diperlukan suatu lembaga pengawas eksternal agar proses reformasi peradilan berjalan optimal. Oleh karena itu, konstitusi kita memberikan amanat tersebut kepada KY, yang dibentuk sebagai penyeimbang MA di dalam kekuasaan kehakiman.

Argumentasi keberadaan KY akan membatasi makna kekuasaan kehakiman juga dinilai sangatlah jauh. Karena konsep independensi kekuasaan kehakiman terletak dari bebas adanya intervensi kekuasaan eksekutif, bukan bebas dari pengawasan pihak eksternal. Sehingga tidak mungkin MA bisa menjalankan kekuasaan kehakiman tanpa adanya pihak pengawas eksternal, karena akan berpotensi dari penyalahgunaan kekuasaan.

Data dari laporan MA mencatat terdapat 117 Hakim yang dikenai sanksi displin, jumlah tersebut merupakan 56% dari total jumlah pegawai pengadilan yang dikenai sanksi disiplin. ICW mencatat sedikitnya ada 5 hakim tipikor plus 1 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang terlibat dalam perkara korupsi, jumlah ini belum termasuk 3 hakim PTUN Medan yang ditangkap KPK atas dugaan suap. Data-data tersebut menunjukkan bahwa lembaga peradilan masih perlu dibenahi guna mewujudkan peradilan bersih, berintegritas dan profesional. Karenanya keberadaan Komisi Yudisial haruslah diperkuat bukan dilemahkan atau bahkan dihilangkan dari konstitusi.

Oleh karena itu wacana untuk menghilangkan KY dari konstitusi kita sangatlah tidak relevan, apalagi mengingat masih banyaknya pelanggaran hakim.

Berdasarkan alasan tersebut, maka kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan menyatakan sikap sebagai berikut,

  1. Menolak dengan tegas adanya wacana penghapusan Komisi Yudisial pada konstitusi, karena peran KY dibutuhkan sebagai penyeimbang MA pada sistem Kekuasaan Kehakiman.
  2. Meminta MA untuk mengklarifikasi pernyataan sikap Hakim Agung Suwardi.
  3. Ketua MPR untuk menolak usulan penghapusan Komisi Yudisial dalam Konstitusi.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan (KPP)

MaPPI-FHUI, Indonesia Corruption Watch, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, ELSAM, Institute for Criminal Justice Reform, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Indonesia Legal Roundtable, LeIP

Contact Person:
Dio Ashar 081317167820