Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia melihat adanya ketidaksesuaian putusan vonis tindak pidana kejahatan pelecehan seksual dalam hubungan relasi kuasa. Hal itu terungkap dalam penelitian MaPPI terhadap kasus kejahatan seksual yang diputuskan Mahkamah Agung, terutama dalam hubungan relasi domestik adanya ikatan kekeluargaan dan pacar.
Peneliti MaPPI, Adery Ardhan Saputro, mengatakan pihaknya telah meneliti 279 perkara pelecehan seksual yang berada di Mahkamah Agung pada 2015. Dari total perkara tersebut, ada 176 tindak pidana tanpa repetisi dan 121 nonrepetisi.
“Hasilnya, yang ada hubungan keluarga dan pacar hukumannya jauh lebih ringan. Tersangka hanya divonis 3-6 tahun penjara,” kata Adery dalam diskusi mengungkap relasi kuasa dalam kejahatan seksual di FHUI, Rabu, 26 Oktober 2016.
Selain itu, Adery melanjutkan, vonis bebas diberikan kepada pelaku yang mempunyai relasi horizontal dengan korban. Adapun vonis paling berat diberikan kepada pelaku yang punya hubungan kekerabatan dengan pidana 9-12 tahun penjara. “Vonis cukup bervariasi. Seharusnya di mata hukum sama,” ucapnya.
Menurut dia, adanya pertimbangan masa hukuman lebih rendah oleh majelis hakim karena unsur hubungan darah yang dipertimbangkan. Dengan demikian, hakim memutuskan lebih rendah hukuman dibandingkan pelaku dari luar relasi domestik. “Ini yang kami soroti.”
Bahkan, kata Adery, permasalahan kejahatan seksual yang didasarkan relasi kuasa sering berhenti sebelum persidangan. Salah satu permasalahan utamanya adalah tidak terbuktinya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan ketika membuktikan terjadinya delik.
Pada tindak pidana pemerkosaan, contohnya, terbuktinya unsur pemaksaan atau ancaman pemaksaan menjadi hal utama dalam membuktikan delik tersebut. “Padahal mungkin saja bentuk dari kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dapat terlihat jelas jika pemerkosaan dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya,” kata Adery.
Adery memberi contoh kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya. Anak didik, kata Adery, biasanya akan memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual karena merasa terpaksa atas pengaruh atau kuasa yang dimiliki gurunya.
“Berdasarkan penelitian kami, kejahatan seksual didominasi hubungan kedekatan antara korban dan pelaku. Bahkan jumlahnya mencapai 50 persen dari data yang kami terima,” tuturnya.
IMAM HAMDI
Sumber: tempo.co.