Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) merilis hasil survei terbaru yang menyebutkan sebanyak 51% kasus perkosaan anak disertai dengan ancaman. Ironisnya, mayoritas hal tersebut dilakukan oleh orang terdekat korban.
Peneliti MaPPI FHUI Adery Ardhan Saputro memaparkan, dari 297 putusan tindak pidana kekerasan seksual 72% di antaranya persetubuhan yang dilakukan berulang kali (repetisi) dengan ancaman. Namun patut disesalkan, pelaku umumnya hanya divonis 3-6 tahun.
“Ini kan masalah, apalagi pelakunya orang dekat. Mereka dibujuk hingga akhirnya terjadi tindakan yang tidak semestinya dialami anak-anak,” ujarnya dalam diskusi publik ‘Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual’ di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (26/10).
Kristi Poerwandari dari Yayasan Pulih dan UI menambahkan pelaku biasanya memanfaatkam situasi dengan menyudutkan korban demi mencari kenikmatan seksual semata. Terlebih di era digitalisasi seperti sekarang ini, kecanggihan teknologi kerap disalahgunakan.
Ia mencontohkan, alat perekam video dijadikan alat untuk mengendalikan korban sehingga tidak jarang korban justru diposisikan sebagai pelaku. Keterperangkapan itu menjadi sangat menyulitkan bagi korban untuk bisa menolak berbuat tindakan seksual.
“Dinamika-dinamika seperti itu yang harus diperhatikan. Sudah saatnya anak-anak kita dibekali pemahaman supaya bisa menjaga diri dengan tidak membiarkan siapapun menyentuhnya di luar dirinya sendiri,” tegas Kristi.
Lidwina L Nurtjahyo, Dosen FHUI, mengaku sangat menyayangkan adanya ketimpangan di dalam putusan hakim menyangkut relasi kuasa antara korban dan pelaku. Seringkali, bukti-bukti diindentifikasikan semata-mata dengan hadirnya kekerasan fisik.
“Maka kalau tidak ada bukti kekerasan fisik dianggap tidak ada ancaman serta paksaan. Faktanya, bentuk paksaan tidak selalu kasat mata,” tukasnya. (X-12)
Sumber: mediaindonesia.com.