14060333070-637407783602788827-photo780x390

Liza Farihah (Peneliti LeIP), Miko Ginting (Peneliti PSHK) dan Erwin natosmal oemar (Peneliti ILR) mengadakan media briefing yang membahas proses seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat, Minggu (27/3/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai peran Komisi Yudisial masih pasif dalam melakukan seleksi calon hakim agung. Selama ini, kata Miko, lembaga pemantau hakim itu dianggap tidak pernah menjaring hakim agung yang potensial hingga ke berbagai daerah.

“Kami meminta Komisi Yudisial tidak hanya pasif menerima lamaran calon hakim agung, tapi juga aktif menjemput bola dan menjaring calon hakim agung yang potensial,” kata Miko dalam media briefing Koalisi Pemantau Peradilan tentang seleksi calon hakim agung di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (27/3/2016).

Menurutnya, dalam menyeleksi calon hakim agung, ada banyal aspek yang diperhatikan, naik organisasional dan personal. Dilihat dari sisi organisasional, KY dianggap terjebak pada masalah prosedural semata.

KY dinilai melakukan seleksi hakim agung hanya ketika ada permintaan dari Mahkamah Agung.

“Kami ingin Komisi Yudisial lebih aktif perannya, bukan hanya penyelenggara seleksi tapi juga check and balance,” katanya.

Sementara dari aspek personal, Miko menyebut tiga prasyarat yang harus dipenuhi hakim agung, yaitu kompetensi, kredibilitas, dan integritas.

Senada dengan Miko, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Liza Farihah mengatakan, seleksi hakim agung yang dilakukan tidak kompatibel dengan sistem kamar yang dibutuhkan.

Liza mengatakan, secara ideal parameter kebutuhan pengisian jabatan hakim agung harus melihat tiga faktor, yaitu jumlah hakim agung yang memasuki masa pensiun, adanya hakim agung yang meninggal dunia dan berdasarkan rasio jumlah hakim agung dengan jumlah beban perkara.

“Komisi Yudisial hanya menjalankan mekanisme prosedural, seharusnya punya wewenang menyeleksi hakim agung sesuai dengan kebutuhan hakim dalam tiap kamar di MA,” kata Liza pada kesempatan yang sama.

Saat ini Komisi Yudisial kembali membuka seleksi calon hakim agung untuk mencari delapan orang hakim agung dengan formasi empat kamar perdata, satu kamar pidana, satu kamar agama, satu kamar tata usaha negara, dan satu kamar militer.

Seleksi calon hakim agung kali ini dilakukan berdasarkan sistem kamar yang diterapkan di Mahkamah Agung sejak 2011. Hal itu berdasarkan SK Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.

Sumber : Kompas.com