RANCANGAN Undang-Undang tentang Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi pemerintah akan mengatur moderasi hukuman mati dengan mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara.
Syaratnya, terpidana menunjukkan kelakuan baik selama di penjara.
Berkenaan dengan hal itu, hakim agung Topane Gayus Lumbuun mengingatkan pemerintah untuk memperjelas pengertian kelakuan baik bagi terpidana mati.
Hal itu penting untuk menjamin kepastian hukum dan prinsip prudensial.
“Kelakuan baik itu mesti ada ukuran yang jelas. Bukan sekadar duduk manis di sel, lalu dapat keringanan hukuman,” ujarnya di Jakarta, kemarin.
Ia mencontohkan, bagi terpidana mati perkara narkoba, ukuran kelakuan baik-nya ialah mau mengungkap jaringan dan menghentikan aktivitas serta tidak meng-ulangi perbuatan.
“Karena banyak terpidana yang duduk manis di sel, tapi mengedarkan narkoba dari dalam,” tandas guru besar hukum tata negara itu.
Dalam draf revisi KUHP yang diusulkan pemerintah, Pasal 102 ayat (1) menyatakan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun, jika: a) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d) ada alasan yang meringankan.
Selanjutnya, ayat (2), jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM.
Lalu, ayat (3), jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah jaksa agung.
Dikaji ulang
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari F-PKS Nasir Djamil meminta ketentuan Pasal 102 RUU KUHP perlu dikaji kembali secara mendalam.
“Pasal tersebut termasuk yang F-PKS kritik. Karena itu, Pasal 102 masih harus diperdalam dan diperdebatkan lagi,” katanya.
Dia menilai pasal tersebut sebagai penyelundupan hukum untuk secara tidak langsung menghapuskan hukuman mati.
Pasal itu juga dinilai bercampur aduk dengan kewenangan presiden dalam memberikan grasi atau pengampunan bagi terpidana.
Padahal, imbuhnya, eksekusi terpidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak presiden.
“Kalau kemudian grasi ditolak, namun diberikan masa percobaan dan hukuman diubah, tentu akan merendahkan wibawa presiden yang menolak grasi tersebut,” tukasnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakir tidak sependapat dengan moderasi pasal hukuman mati.
Menurutnya, jika hakim sudah menjatuhkan pidana mati, putusan tersebut harus dieksekusi. (Pol/P-3)
Sumber : Mediaindonesia.com